Monday, November 12, 2012

Pengajaran Bahasa Komunikatif (Communicative Language Teaching) dan Total Physical Response





Disusun oleh:
Feisal Aziez
M. Zakky Fathoni



PROGRAM STUDI LINGUISTIK TERAPAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012


PENDAHULUAN

Pengajaran Bahasa Komunikatif (Communicative Language Teaching)
Pada tahun 1960-an, tradisi pengajaran bahasa mengalami perubahan-perubahan yang cukup mendasar. Perubahan- perubahan ini terutama dipicu oleh asumsi-asumsi baru tentang hakikat pembelajaran bahasa, yang secara mendasar mengingkari asumsi-asumsi yang berlaku saat itu. Pada saat teori linguistik yang mendasari pendekatan audiolingual ditolak di Amerika Serikat pada tahun 1960-an, para pakar linguistik terapan Inggris seperti Howatt (1984: 280, dalam Aziez & Alwasilah, 1996:1) dan bahkan Noam Chomsky juga mulai mempertanyakan ke-efektifitas-an teori-teori yang mendasari Situational Language Teaching dan metode tatabahasa-terjemahan. Communicative Language Teaching atau Pengajaran Bahasa Komunikatif (PBK) muncul sebagai alternatif Situational Language Teaching dan metode tatabahasa-terjemahan yang teori dasarnya oleh Chomsky (1957) dianggap tidak mampu menjelaskan karakteristik bahasa yang fundamental—keunikan dan kreativitas setiap kalimat. Pendekatan pengajaran bahasa yang berkembang saat itu dianggap belum meliputi dimensi bahasa yang mendasar—yaitu dimensi fungsional dan komunikatif. Nunan (1989: 12) menggambarkan perubahan ini sebagai perubahan dari ‘learning that’ menjadi ‘knowing how’. Di Indonesia sendiri, PBK baru dikenal pada era tahun 1980-an, padahal perkembangannya di negara lain sudah relatif  lama (Iskandarwassid & Sunendar, 2008).

Respons Fisik Total (Total Physical Response)
Total Physical Response (TPR) adalah salah satu metode pengajaran bahasa yang dibangun dari koordinasi percakapan dan tindakan. Metode ini mencoba mengajarkan bahasa melalui aktivitas fisik. Metode ini dikembangkan oleh James Asher, seorang profesor dari bidang psikologi di Universitas Negeri San Jose, di California pada tahun 1970. Namun sekitar 1 dekade sebelum itu Asher sudah mulai melakukan penelitian dan eksperimen tentang metode ini, dikarenakan belum banyak ahli yang meneliti dan mengembangkan metode TPR ini. Setelah Asher melakukan eksperimen tentang metode ini dan mulai menemukan hasil positif, maka banyak para ahli bahasa yang tertarik untuk meneliti dan melakukan eksperimen menggunakan metode ini. (Richards & Rodger, 2001: 73)

PEMBAHASAN
PENGAJARAN BAHASA KOMUNIKATIF

Ilustrasi Pembelajaran Bahasa Komunikatif

a.      Pengertian Pengajaran Bahasa Komunikatif
Awalnya, muncul pertanyaan dalam mengkategorisasikan Pengajaran Bahasa Komunikatif—apakah ia termasuk ke dalam metode atau pendekatan? Brown (2007: 241) menyatakan bahwa PBK sebaiknya dipahami sebagai pendekatan, bukan metode. Pendapat ini juga didukung oleh Richards & Rodgers (2001: 172), Littlewood (1987), Larsen-Freeman (1987: 123), Nunan (1989:12), Aziez & Alwasilah (1996), dan Iskandarwassid & Sunendar (2008: 55). Hal ini dikarenakan PBK adalah sebuah pendirian teoretis terpadu (unified) tetapi memiliki basis luas tentang watak bahasa (the nature of language) dan tentang pembelajaran dan pengajaran bahasa (Brown, 2007: 241).
Sejumlah definisi PBK yang muncul terdahulu (Savignon, 1983; Breen & Candlin, 1980; Widdowson, 1978b, dalam Brown, 2007: 241) ataupun yang terbaru (Savignon, 2005; Ellis, 2005; Nunan; 2004, dalam Brown, 2007: 241) telah cukup untuk membingungkan kita. Di Indonesia, para ahli bahasa juga banyak menghabiskan waktu untuk memperdebatkan definisi dari pendekatan ini (Iskandarwassid & Sunendar, 2008: 55). Oleh karena itu, Brown (2007: 241) memberikan empat karakteristik yang terkait sebagai definisi PBK:
1.      Sasaran kelas difokuskan pada semua komponen kompetensi komunikatif  (communicative competence)[1] dan tidak terbatas pada kompetensi gramatikal atau linguistik.
2.      Teknik-teknik bahasa dirancang untuk melibatkan para pembelajar dalam penggunaan pragmatik, otentik, dan fungsional bahasa untuk tujuan bermakna. Bentuk-bentuk bahasa yang tertata rapi bukan merupakan fokus sentral melainkan aspek-aspek bahasa yang membantu pembelajar mewujudkan tujuan-tujuan komunikatif.
3.      Kefasihan dan akurasi dipandang sebagai prinsip-prinsip pelengkap saja yang mendasari teknik-teknik komunikatif. Terkadang kefasihan harus dikedepankan daripada akurasi untuk membuat pembelajar tetap terlibat secara bermakna dalam penggunaan bahasa.
4.      Dalam kelas komunikatif, para murid pada akhirnya harus menggunakan bahasa secara produktif dan reseptif, dalam konteks spontan.
            Kurikulum yang bertopang pada kaidah struktural/gramatikal telah mendominasi pengajaran bahasa selama berabad-abad. PBK sendiri menyarankan bahwa struktur gramatikal sebaiknya disisipkan ke dalam berbagai kategori fungsional. Banyak penggunaan bahasa-bahasa otentik disiratkan dalam CLT, ketika guru berusaha membangun kefasihan siswa (Chambers, 1997, dalam Brown, 2007). Akan tetapi perlu diingat bahwa kefasihan disini tidak didorong dengan mengorbankan komunikasi langsung yang jelas dan tidak ambigu. Akhirnya, akan ada lebih banyak spontanitas yang muncul dalam kelas komunikatif: para murid didorong untuk menghadapi situasi-situasi yang spontan di bawah bimbingan, bukan kontrol,  guru.

b.      Tujuan Kelas Komunikatif
Littlewood (1987:17) merangkum tujuan pembelajaran dalam kelas komunikatif menjadi empat:
1.      Menyediakan latihan tugas-menyeluruh (whole-task practice)
Dalam kelas komunikatif, penting untuk membedakan antara (a) melatih skill tersendiri (part skill), dan (b) melatih skill secara keseluruhan atau disebut whole task practice. Ketika kita belajar berenang, terkadang kita belajar kemampuan tertentu secara terpisah (menahan nafas, melompat ke air, dll) namun kita juga terkadang dituntut untuk langsung berenang jarak dekat. Dalam pembelajaran bahasa, aktivitas kelas komunikatif disusun untuk sesuai dengan kemampuan pembelajar.
2.      Mendorong motivasi pembelajar
Tujuan utama pembelajar bahasa adalah untuk mampu berkomunikasi dengan baik dengan orang lain dalam bahasa yang dipelajari. Terlebih lagi, konsepsi umum pembelajar bahasa adalah bahasa sebagai alat komunikasi bukan suatu sistem struktural. Jika demikian, maka kesuksesan proses belajar siswa akan lebih memungkinkan untuk dicapai.
3.      Menyediakan pembelajaran natural (natural learning)
Pembelajaran bahasa terjadi dalam diri siswa. Sebagai guru kita mengerti ke-frustasi-an mereka dalam belajar bahasa. Terkadang, beberapa aspek bahasa berada di luar kontrol pedagogis mereka. Aspek-aspek dalam pembelajaran bahasa ini hanya mampu didapatkan melalui proses natural, yaitu penggunaan bahasa untuk tujuan komunikatif.
4.      Menciptakan konteks yang mendukung pembelajaran
Interaksi yang terjadi dalam aktivitas komunikatif membantu menciptakan hubungan personal yang positif antara murid-murid maupun murid-guru. Hubungan ini membuat kelas menjadi lebih ‘manusiawi’sehingga menciptakan lingkungan yang supportive terhadap usaha siswa untuk belajar bahasa.

c.       Peran Guru dan Siswa dalam Kelas PBK
Guru dalam PBK menurut Richards dan Rodgers (2001) memiliki dua peran utama: (a) memfasilitasi komunikasi yang terjadi antara murid dengan murid, maupun murid dengan aktivitas atau teks yang diberikan, dan (b) menjadi partisipan independen dalam aktivitas yang terjadi di kelas. Peran guru yang lain menurut mereka adalah sebagai analis kebutuhan siswa, konselor, dan pengelola proses kelompok (group process manager). Siswa, diatas apapun, adalah komunikator (Larsen-Freeman, 2001). Mereka mencoba untuk bertukar makna—mencoba dipahami dan memahami orang lain—walaupun pengetahuan mereka dalam bahasa yang dipelajari masih belum lengkap.

d.      Prosedur dan Materi Pengajaran
Berikut ini adalah contoh prosedur pengajaran bahasa komunikatif dalam kelas Bahasa Inggris yang diberikan oleh Finocchiaro dan Brumfit (dalam Richards & Rodgers, 2001):
1.      Pemberian dialog atau mini dialog yang diawali oleh motivasi dari guru diikuti oleh diskusi mengenai dialog yang diberikan (topik, dialog, ke-formal-an dll).
2.      Latihan lisan ungkapan-ungkapan (utterances) yang ada dalam dialog yang dicontohkan oleh guru.
3.      Tanya jawab mengenai topik dan situasi dialog.
4.      Tanya jawab mengenai pengalaman siswa mengenai topik/ situasi dalam dialog.
5.      Mempelajari ekspresi-ekpresi inti dalam dialog dan fungsinya memberi contoh ungkapan serupa dalam kehidupan nyata.
6.      Siswa menemukan generalisasi atau aturan-aturan sktruktural dari ungkapan-ungkapan dalam dialog.
7.      Pengenalan lisan, aktivitas interpretatif.
8.      Aktivitas produksi lisan—bertahap dari guided activities sampai freer activities.
9.      Sampling dari tugas tertulis, jika ada.
10.  Evaluasi lisan mengenai materi yang dipelajari, contoh “How would you ask your friend to_____?” dan “How would you ask me to_____?”
Materi yang digunakan dalam kelas PBK misalnya: materi otentik, scrambled sentences, information gap, permainan bahasa, cerita bergambar, dan role play.

TOTAL PHYSICAL RESPONSE

Ilustrasi TPR

Penyusun metode Respons Fisik Total atau Total Physical Response (TPR), James Asher, mencatat bahwa anak-anak, saat belajar bahasa pertama mereka, terlihat banyak mendengar sebelum mereka berbicara, dan bahwa kegiatan mendengar itu disertai oleh respons-respons fisik seperti meraih, meraba, bergerak, melihat, dan lain-lain. Asher juga memberikan perhatian kepada pembelajaran otak kanan. Menurut Asher (melalui Brown, 2007: 84) “aktivitas motor adalah fungsi otak kanan yang pastilah mendahului pemrosesan bahasa oleh otak kiri”. Hal ini pula yang membuat Asher yakin bahwa seringkali kelas-kelas bahasa adalah tempat yang luar biasa mencemaskan dan membuat ia berkeinginan untuk membuat dan mengembangkan sebuah metode yang sebisa mungkin bebas stress, di mana para pembelajar bahasa tidak akan merasa canggung dan defensif. Oleh karena itu kelas TPR yang dikembangkan oleh Asher adalah sebuah kelas di mana para murid banyak mendengar dan bertindak. Sang guru mengarahkan dalam mengorkestrasi sebuah performa: “Instruktur adalah sutradara sebuah lakon sandiwara di mana para murid adalah aktornya” (Asher, 1977: 43).
Pada saat ini TPR banyak dipakai sebagai jenis aktivitas kelas. Banyak kelas komunikatif dan interaktif yang berhasil memanfaatkan aktivitas-aktivitas TPR untuk menghadirkan masukan auditoris maupun aktivitas fisik. Target pembelajar yang menggunakan metode TPR adalah anak-anak, hal ini dikarenakan konsep dari metode TPR adalah merespon instruksi yang bentuknya adalah berupa kalimat perintah dengan respons fisik secara langsung, yang bila diterapkan kepada pembelajar bahasa yang sudah dewasa hasilnya tidak efektif.

a.      Tujuan Total Physical Response (TPR)
Metode TPR bagi guru, bertujuan agar tercipta suasana yang nyaman sehingga siswa dapat menikmati pembelajaran dan dapat belajar untuk berkomunikasi menggunakan bahasa asing dengan baik. Hal ini dikarenakan pada dasarnya metode TPR ini dikembangkan untuk mengurangi tekanan bagi siswa di dalam kelas, dan membuat suasana kelas menyenangkan. (Larson-Freeman, 1986: 116)

b.      Peran Guru dan Siswa
Guru memegang peran sebagai sutradara, sedangkan para siswa bertindak sebagai artisnya. Jadi dalam metode TPR ini peran guru amatlah penting, karena guru yang mengatur semua yang ada di dalam kelas. Guru memberikan perintah pada siswa, yang sejatinya perintah itu adalah bagian dari metode TPR, kemudian siswa diminta untuk merespon instruksi-instruksi berupa kalimat-kalimat perintah dari guru dengan melakukan tindakan (respons fisik). Peran siswa di sini tidak terlalu penting karena gurulah yang memegang kontrol. (Larson-Freeman, 1986: 116)

c.       Karakteristik Proses Pengajaran dan Pembelajaran
Larson-Freeman (1986: 116) menyatakan bahwa pada tahap pertama metode TPR, guru bertindak sebagai model atau contoh. Guru dapat memberikan instruksi pada beberapa siswa dan kemudian mencontohkan atau mempraktekkannya di hadapan siswa agar para siswa dapat memahami intruksi yang diberikan dan dapat mengikuti. Pada tahap kedua para siswa dapat mendemonstrasikan apa yang mereka pahami dari perintah-perintah yang tadi sudah diberikan dengan teman-temannya sendiri. Kemudian sampai pada tahap ketika para siswa sudah mengerti, memahami serta dapat merespon perintah-perintah dengan respon fisik, para siswa dapat belajar lebih jauh untuk membaca dan menuliskannya. Hingga pada saatnya para siswa sudah siap untuk berbicara, mereka bisa menjadi orang yang memberikan instruksi atau perintah.

d.      Teknik-teknik yang digunakan dalam metode TPR
1.      Penggunaan kalimat-kalimat perintah untuk mengarahkan tindakan
Teknik ini adalah teknik yang paling sering digunakan. Kalimat-kalimat perintah diberikan pada siswa agar siswa dapat merespon dengan tindakan. Tindakan yang dilakukan membuat maknanya menjadi jelas. Asher menyarankan para guru agar dapat membuat suasana kelas menjadi hidup, oleh karena itu guru harus mempersiapkan kalimat-kalimat perintah yang akan digunakan di dalam kelas. Persiapan itu akan membuat kelas menjadi teratur dan hidup. Namun jika guru mencoba untuk membuat kalimat perintah pada saat di dalam kelas tanpa persiapan, hal itu akan membuat kelas berjalan lambat dan membosankan. (Larson-Freeman, 1986: 118)
2.      Pergantian peran
Siswa dapat berganti peran dengan guru untuk memberikan kalimat-kalimat perintah kepada siswa-siswa lainnya. Asher menyatakan bahwa dalam 10-12 jam penggunaan TPR, maka siswa akan tertarik untuk memberikan perintah juga, hal ini dapat membuat siswa berani berbicara. Teknik ini adalah variasi atau penambahan dari teknik sebelumnya, karena teknik ini bukan lah teknik mayor dari metode TPR. (Larson-Freeman, 1986: 119)
3.      Tindakan yang saling berhubungan
Pada suatu waktu guru juga dapat memberikan kalimat-kalimat perintah yang saling berhubungan. Misalkan guru menyuruh siswa untuk menunjuk ke pintu, kemudian memberikan perintah untuk berjalan menuju pintu dan kemudian diberikan perintah untuk menyentuh pintu. Hal ini akan membantu siswa untuk dapat mengingat dan belajar lebih banyak. (Larson-Freeman, 1986: 119)


KESIMPULAN
Pengajaran Bahasa Komunikatif
Pengajaran Bahasa Komunikatif atau Communicative Language Teaching paling baik dipahami sebagai pendekatan daripada metode. Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa PBK memiliki kemiripan dengan situational language teaching atau grammar-translation. Hal itu disebabkan karena PBK tidak menolak pendekatan-pendekatan tradisional, akan tetapi diinterpretasi ulang (reinterpreted) dan dikembangkan. Karakteristik CLT sering menyulitkan guru bukan penutur asli yang tidak cakap betul dalam bahasa yang diajarkan untuk mengajar dengan efektif. Kelemahan ini, bagaimanapun, jangan menghalangi orang untuk mencapai tujuan-tujuan komunikatif di kelas. Teknologi (video, televisi, kaset audio, internet, software komputer) bisa membantu guru untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Apalagi, menurut pengamatan Brown (2007: 242), ada peningkatan yang cukup signifikan pada kecakapan pada guru-guru bukan penutur asli dalam kira-kira satu dasawarsa terakhir. Brown juga berpendapat bahwa jika lembaga-lembaga pendidikan dan politik di berbagai negara menjadi lebih peka terhadap pentingnya pengajaran bahasa asing untuk tujuan komunikatif (bukan sekedar untuk memenuhi “persyaratan” atau “lulus tes”), barangkali kita akan lebih mampu mewujudkan tujuan-tujuan pengajaran bahasa komunikatif.
Total Physical Response
Total Physical Response, dapat juga disebut juga perluasan dari English Through Action yang dipelopori oleh Palmer & Palmer. Namun semua metode yang pernah digunakan terus berkembang seiring zaman, ada yang disempurnakan, ada bagian yang diambil, ada yang disempurnakan, termasuk metode TPR yang diperbaharui dengan mengacu kepada teori psikologi yang lebih mutakhir. Hal ini juga menjadi lebih popular karena dukungan yang menekankan pada peran pemahaman dalam akuisisi bahasa kedua. Asher (1977) pun menekankan bahwa harus ada asosiasi yang dilakukan dengan metode atau teknik lainnya agar menjadi lebih efektif.


References
Asher, J. (1977). Learning Another Language Through Actions: The Complete Teacher’s Guide Book. Los Catos, California: Sky Oaks Productions.

Aziez, F., & Alwasilah, C. (1996). Pengajaran Bahasa Komunikatif: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Brown, H. Douglas. (2007). Principles of Language Teaching and Learning, Fifth Edition. New York: Pearson Education, Inc.

Iskandarwassid & Sunendar, Dadang. (2008). Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Krashen, Stephen D. (1982). Principles and Practice of Second Language Acquisition. Pergamon Press Inc.

Larsen-Freeman, Diane. (1986). Techniques and Principle in Language Teaching. Oxford, UK: Oxford University Press, Inc.

Larsen-Freeman, Diane. (2001). Techniques and Principle in Language Teaching. Oxford, UK: Oxford University Press, Inc.

Littlewood, William (1981). Communicative Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press

Nunan, David. (1989). Designing Tasks for the Communicative Classroom. Cambridge: Cambridge University Press

            Richards, J., & Rodgers, T. (2001). Approaches and Methods in Language Teaching.
                        Cambridge, UK: Cambridge University Press.




[1] lebih lanjut mengenai ‘kompetensi komunikatif’ dapat ditemukan di Brown (2007: 218-222)

Monday, November 5, 2012

PEMEROLEHAN DAN PERKEMBANGAN BAHASA PADA ANAK


Feisal Aziez (Oktober 2012)
Psikolinguistik

PENDAHULUAN

An infant crying in the night:
An infant crying for the light:
And with no language but a cry.
(Alfred Lord Tennyson, ‘In memoriam H.H.S.’)
     Istilah infant berasal dari kata latin yang berarti tanpa bicara (without speech). Dapat dikatakan pula bahwa seorang bayi belum mampu mengucapkan kata-kata atau ungkapan yang berarti atau bermakna dan dipahami oleh orang lain.
     Seorang anak tidak akan terbangun di suatu pagi dengan kemampuan komunikasi yang penuh dan berterima secara sosial atau gramatika. Pengetahuan linguistik ini berkembang secara bertahap, dan dalam setiap tahapannya, kemampuan mereka semakin mendekati kemampuan berbahasa orang dewasa. Observasi yang dilakukan terhadap anak-anak dalam komunitas bahasa yang berbeda di seluruh dunia menunjukkan bahwa tahap-tahap ini serupa, dan ada kemungkinan bersifat menyeluruh (­universal). Beberapa tahapan hanya berlangsung dalam jangka waktu yang pendek; beberapa yang lain membutuhkan waktu yang lebih lama.
      Setiap aspek dari suatu bahasa merupakan suatu hal yang sangat kompleks; walaupun begitu, anak-anak—sebelum usia lima tahun—sudah mampu mempelajari system gramatika suatu bahasa. Sebelum mereka mampu menjumlahkan 2 + 2, anak sudah mampu menggabungkan kalimat, membuat pertanyaan, menggunakan kata ganti, kalimat negatif, dan menggunakan aturan sintaksis, fonologi, morfologi, dan semantik dari bahasa pertama mereka. Hal ini sering membuat iri orang dewasa yang mempelajari bahasa kedua atau ketiga mereka karena begitu cepatnya seorang anak mampu belajar bahasa pertamanya.
      Makalah ini akan membahas perkembangan pemerolehan bahasa pada anak-anak; tahapan-tahapan dan proses pemerolehan bahasa mereka dilihat dari berbagai aspek. Luasnya area yang berkenaan dengan pemerolehan bahasa anak, maka makalah ini merupakan sebuah ringkasan saja dari berbagai sumber mengenai perkembangan pemerolehan bahasa pada anak.


PEMBAHASAN

2.1 Tahap Perkembangan Awal Kemampuan Berbahasa (Pre-Speech Stages)
2.1.1 Tahap Vokalisasi ke Mengoceh (Babbling)

      Perkembangan bahasa sebelum bayi dapat berbicara secara aktif disebut perkembangan pra-wicara (pre-speech development) biasanya ditandai oleh vokalisasi awal pada bayi. Vokalisasi awal ini ditunjukkan bayi dengan menangis (crying), mendekut (cooing), mendeguk (gurgling), menjerit, dan tertawa. Bayi di seluruh dunia cenderung membuat suara-suara yang serupa pada tahap awal perkembangannya, bahkan pada bayi-bayi yang terlahir tuli (Lenneberg, Rebelsky, & Nichols, 1965 dalam Steinberg, Nagata, & Aline, 2001). Ketika bayi memasuki usia sekitar 6 bulan kemampuan-kemampuan ini akan mulai menghilang. Kemudian, pada usia sekitar 7 bulan anak pada umumnya akan mulai mengoceh, memproduksi suara-suara yang biasa digambarkan sebagai suku kata (syllable) yang diulang, contohnya, ba-ba-ba, ma-ma-ma, atau pa-pa-pa.
      Pada saat usia bayi memasuki usia sekitar 6-7 bulan, ocehan mereka mulai menunjukkan perbedaan antara satu komunitas bahasa dengan komunitas bahasa yang lain dengan menggunakan intonasi-intonasi pada yang digunakan dalam komunitas bahasa dimana mereka berada. Ocehan yang menggunakan pola intonasi bahasa pertama ini jelas merupakan hasil belajar anak dari apa yang mereka dengan dari lingkungan bahasa mereka. Inilah yang tidak bisa didapatkan oleh bayi-bayi yang terlahir tuli. Bayi-bayi tersebut mengalami tahapan vokalisasi awal, akan tetapi tidak berkembang ke tahap mengoceh.
2.1.2 Tahap Mengoceh ke Berbicara
      Dalam tahap akhir mengoceh anak-anak mulai mengucapkan kata-kata pertama mereka. Umumnya, hal ini terjadi pada usia sekitar satu tahun akan tetapi dapat terjadi sebelum atau setelah satu tahun. Ketika anak mulai untuk mengucapkan kata-kata awal mereka, terlihat bahwa hanya sebagian kecil saja bunyi yang mereka biasa ucapkan dalam tahap ocehan muncul dalam ujaran mereka. Suara-suara lainnya harus diperoleh kembali. Ada kecenderungan kemampuan membuat bunyi-bunyi yang mereka dapatkan dalam tahap mengoceh hilang dan harus dipelajari kembali. Sebagai contoh, suara seperti /k/, /g/, dan /x/ (seperti dalam Bach) yang biasanya muncul dalam tahap vokalisasi dan mengoceh cenderung akan muncul kembali setelah mereka menguasai suara seperti /p/, /t/, /m/, /a/, dan /o/ (Steinberg, Nagata, & Aline, 2001). Maka dari itu tampak ada ketidakberlanjutan antara mengoceh dan ujaran yang bermakna dimana suara-suara yang didapat dalam tahap mengoceh tidak selalu langsung disadari ketika mereka mulai mengucapkan ujaran yang bermakna.
      Alasan dibalik ketidak-berlanjutan ini menurut Jesperson (1993 dalam Steinberg, Nagata, & Aline, 2001) adalah karena vokalisasi yang disengaja (intentional) dan tidak-disengaja (non-intentional). Mengoceh merupakan vokalisasi non-intentional dalam artian ada bunyi-bunyi tertentu yang dihasilkan tanpa adanya kontrol kognitif pusat. Hal ini terjadi karena belum sempurnanya kontrol kognitif terhadap alat berbicaranya (sistem pernafasan, faring, lidah, rongga mulut). Ini juga terjadi pada anggota tubuh lain seperti tangan dan kaki mereka.
      Dalam tahap ujaran yang bermakna, bunyi tidak dapat diucapkan secara acak (random) akan tetapi harus sesuai dengan bunyi yang telah mereka dengar sebelumnya yang secara konvensional dihubungkan dengan objek-objek tertentu, kebutuhan, dan lain sebagainya. Untuk memenuhi syarat diatas, anak perlu menemukan bagaimana suara tertentu diproduksi oleh alat berbicara mereka. Walaupun tahap mengoceh dan berbicara berbeda dalam hal kesengajaan, bagaimanapun, tahap berbicara anak sedikit banyaknya tergantung pada tahap mengoceh. Dalam tahap mengoceh, anak dapat melatih alat bicaranya yang akan membantunya ketika kontrol kognitif diperlukan untuk menggerakkan alat bicaranya untuk memproduksi ujaran yang bermakna.

2.1.3 Urutan Pemerolehan Bunyi Konsonan dan Vokal (Vowels)
    Dalam fase ujaran yang bermakna, Jakobson (1968 dalam Steinberg, Nagata, & Aline, 2001) menyatakan teori bahwa bunyi konsonan diperoleh dengan urutan depan-ke-belakang (front-to-back), dimana ‘depan’ dan ‘belakang’ mengacu pada sumber artikulasi dimana bunyi tersebut dihasilkan. Sebagai contoh, bunyi /m/, /p/, /b/, /t/, dan /d/ cenderung muncul pada anak sebelum bunyi /k/, /g/, dan /x/. Sebaliknya, bunyi vokal (vowels) tampaknya diperoleh dengan urutan belakang-ke-depan (back-to-front), dengan contoh /a/ (ball) dan /o/ (low) muncul sebelum /i/ (meet) dan /^/ (mud). Walaupun begitu, ada lebih banyak variasi dalam urutan pemerolehan ini daripada yang diprediksi oleh teori. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian (Velten, 1943; Leopold, 1947; Braine, 1971; Ferguson & Garnica, 1975 dalam Steinberg, Nagata, & Aline, 2001). Penyebab adanya variasi ini berkenaan dengan adanya lingkungan yang berbeda dimana seorang anak mempelajari alat bicara mana yang tepat untuk mengeluarkan bunyi tertentu.

2.1.4 Penamaan (Naming), Holofrastik, Telegrafik, dan Morfemik
2.1.4.1 Penamaan (Naming): Tahap Satu Kata
      Kapankah anak mengucapkan kata pertamanya? Penelitian yang dilakukan berdasarkan pertanyaan ini biasanya tidak bersifat konklusif. Hal ini disebabkan karena luasnya perbedaan individu yang ada dan juga karena tidak adanya standardisasi bagaimana seorang anak dikatakan telah mengucapkan kata pertamanya.
Ketika seorang anak mengucapkan ‘mama’, ucapan itu mungkin berarti atau tidak berarti menggambarkan pengetahuan kosakatanya. Steinberg, Nagata, & Aline (2001) menyatakan bahwa seorang anak bisa dikatakan telah menguasai kata pertamanya ketika (1) mereka dapat mengucapkan bentuk ucapan yang telah diketahui secara luas dan (2) ucapan itu berhubungan dengan suatu objek atau kejadian di lingkungannya. Bentuk kata tersebut mungkin tidak sempurna, contohnya, ‘pah’ untuk ‘papah’, dan makna yang dia maksudkan mungkin tidak sesuai, misalnya, semua orang dia panggil ‘da’, akan tetapi selama anak mampu menggunakan bentuk ucapan tersebut dengan acuan tertentu, dia dianggap telah memperoleh sedikit pengetahuan kata (word knowledge).
      Kata pertama telah dilaporkan muncul dalam rentang usia antara 4 hingga 18 bulan, atau bahkan lebih tua dengan rata-rata muncul dalam usia 10 bulan. Perbedaan ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan fisik, seperti fungsi otot-otot sekitar mulut yang sangat berpengaruh untuk menghasulkan bunyi yang tepat. Selain itu, perkembangan otak juga sangat penting karena bahasa dihasilkan dari proses yang terjadi di daerah cerebral cortex (Bates, Thal & Janowsky, 1992 dalam Steinberg, Nagata, & Aline, 2001).

            2.1.4.2 Tahap Holofrastik (Tahap Satu Kata)
      Bagaimanapun, seorang anak tidak akan menggunakan satu kata untuk mengacu pada sebuah objek; mereka juga menggunakan kata tersebut untuk mengungkapkan pemikiran yang kompleks. Holofrastik berasal dari kata ‘holo’ yang berarti keseluruhan dan ‘phras’ yang berarti frase atau kalimat. Ucapan-ucapan satu kata pada periode ini disebut holofrastik karena anak-anak menyatakan makna keseluruhan frase atau kalimat dalam satu kata yang diucapkannya itu. Contohnya: kata “asi “ (maksudnya nasi) dapat berarti dia ingin makan nasi, dia sudah makan nasi, nasi ini tidak enak, atau apakah ibu mau makan nasi? dsb. Agar kita dapat memahami maksud yang sesungguhnya, kita harus mencermati keadaan anak dan lingkungan pada saat ucapan satu kata itu diucapkan. Orang dewasa harus faham bahwa pada tahap holofrastik ini, ingatan dan alat ucap anak belum cukup matang untuk mengucapkan satu kalimat yang terdiri dari dua kata atau lebih.
       Tahap holofrastik ini dialami oleh anak normal yang berusia sekitar 1-2 tahun. Waktu berakhirnya tahap ini tidak sama pada setiap anak. Ada anak yang lebih cepat mengakhirinya, tetapi ada pula yang sampai umur anak 3 tahun. Pada tahap ini gerakan fisik seperti menyentuh, menunjuk, mengangkat benda dikombinasikan dengan satu kata. Seperti halnya gerak isyarat, kata pertama yang dipergunakan bertujuan untuk memberi komentar terhadap objek atau kejadian di dalam lingkungannya. Satu kata itu dapat berupa, perintah, pemberitahuan, penolakan, pertanyaan, dan lain-lain. Di samping itu menurut Clark (1977 dalam Hartati, 2011) anak berumur 1 tahun menggunakan bahasa isyarat dengan lebih komunikatif. Fungsi gerak isyarat dan kata manfaatnya bagi anak itu sebanding. Dengan kata lain, kata dan gerak itu sama pentingnya bagi anak pada tahap holofrastik ini.

2.1.4.3 Tahap Telegraphic (Tahap Dua dan Tiga Kata)
      Seperti telah dijelaskan di atas, seorang anak sebelumnya telah mengetahui ungkapan-ungkapan yang terekam dalam otaknya. Jadi pemahaman tertanam lebih dahulu daripada produksi bahasa. Tahap telegrafik ini biasanya muncul mulai menjelang usia dua tahun. Anak-anak memasuki tahap ini dengan pertama sekali mengucapkan dua holofrase dalam rangkaian yang cepat (Tarigan, 1980 dalam Hartati, 2011). Misal: mama bobo, adik mimi, papa pigi (ayah pergi), baju kakak dsb. Ucapan-ucapan ini pun, mula-mula tidak jelas seperti ”di“ (maksudnya adik), kemudian anak berhenti sejenak, lalu melanjutkan “mimi” maksudnya minum. Maka berikutnya muncul kalimat, “adik mimi”.
      Perlu Anda ketahui bahwa keterampilan anak pada akhir tahap ini makin luar biasa. Komunikasi yang ingin ia sampaikan umumnya adalah bertanya dan meminta. Kata-kata yang digunakan untuk itu sama seperti perkembangan awal yaitu: sini, sana, lihat, itu, ini, lagi, mau dan minta.
      Selain keterampilan mengucapkan dua kata, ternyata pada periode ini si anak terampil melontarkan kombinasi antara informasi lama dan baru. Pada periode ini tampak sekali kreativitas anak. Keterampilan tersebut muncul pada anak dikarenakan makin bertambahnya pembendaharaan kata yang diperoleh dari lingkungannya dan juga karena perkembangan kognitif serta fungsi alat ucap pada anak.

2.1.4.4 Tahap Morfemik
      Tahap ini dimulai sekitar usia anak 2,6 tahun, tetapi ada juga sebagian anak yang memasuki tahap ini ketika memasuki usia 2 tahun, bahkan ada juga anak yang lambat yaitu ketika anak memasuki usia 3 tahun. Pada umumnya pada tahap ini, anak-anak telah mulai menggunakan elemen-elemen tata bahasa yang lebih rumit, seperti: pola kalimat sederhana, kata-kata tugas (di, ke, dari, ini, itu dsb.), penjamakan, pengimbuhan, terutama awalan dan akhiran yang mudah dan bentuknya sederhana (Hartati, 2011). Meskipun demikian, kalimat-kalimat yang dihasilkan anak masih seperti bentuk telegram atau dalam bahasa Inggrisnya “telegraphic utterances” (ucapan telegram) contoh: “ini adi nani, kan ?” (adi maksudnya adik), ”mama pigi ke pasar”, “nani mau mandi dulu”, dsb.
      Perkembangan anak pada tahap ini makin luar biasa. Marat (1983 dalam Hartati, 2011) menyebutkan perkembangan ini dengan kalimat lebih dari dua kata dan periode diferensiasi. Tahap ini pada umunya dialami oleh anak berusia sekitar 2 ½ tahun-5 tahun. Sebenarnya perkembangan bahasa anak pada tahap ini bervariasi. Hal ini bergantung pada perkembangan pada tahap sebelumnya yang dialami oleh si anak. Umumnya pada tahap ini anak sudah mulai dapat bercakap-cakap dengan teman sebaya dan mulai aktif memulai percakapan. Fase sebelumnya sampai tahap perkembangan dua kata anak lebih banyak bergaul dengan orang tuanya. Sedangkan pada tahap ini pergaulan anak makin luas yang berarti menambah pengetahuan dan menambah perbendaharaan kata. Mereka dapat bercakap-cakap dengan teman sebaya, teman yang lebih besar, orang dewasa, dapat menyimak radio dan televisi.
      Menurut Marat (1983 dalam Hartati, 2011) ada beberapa keterampilan mencolok yang dikuasai anak pada tahap ini:
- Pada akhir periode ini secara garis besar anak telah menguasai bahasa ibunya, artinya kaidah-kaidah tata bahasa yang utama dari orang dewasa telah dikuasai.
- Perbendaharaan kata berkembang, beberapa pengertian abstrak seperti: pengertian waktu, ruang, dan jumlah yang diinginkan mulai muncul.
- Mereka mulai dapat membedakan kata kerja (contoh: minum, makan, masak, pergi, pulang, mandi) dan kata-kata benda (buku, baju, gelas, nasi, susu) dan sudah dapat mempergunakan kata depan, (di, ke, dari), kata ganti (aku, kamu) dan kata kerja bantu (tidak, bukan, mau, sudah dsb).
- Fungsi bahasa untuk berkomunikasi betul-betul mulai berfungsi; anak sudah dapat mengadakan konversasi (percakapan) dengan cara yang dapat dimengerti oleh orang dewasa.
- Persepsi anak dan pengalamannya tentang dunia luar mulai ingin dibaginya dengan orang lain, dengan cara memberikan kritik, bertanya, menyuruh, memberi tahu, dan lain-lain.
- Tumbuhnya kreativitas anak dalam pembentukan kata-kata baru. Gejala ini merupakan cara anak untuk mempelajari perkataan baru dengan cara bermain-main. Hal ini terjadi karena memang daya fantasi anak pada tahap ini sedang pesat berkembang.
      Seperti telah dijelaskan di atas bahasa anak-anak pada tahap ini dilukiskan sebagai bahasa telegram, karena pengetahuan kata-kata tugas yang masih terbatas, menyebabkan ucapan anak-anak itu berbunyi seperti telegram yang ditulis oleh orang dewasa (Tarigan, 1985 dalam Hartati, 2011). Anak membuat pola pesan dengan cara yang sependek mungkin seperti halnya orang dewasa mengirim telegram. Menurut Marat (1983, dalam Hartati, 2011) yang dihilangkan pada bahasa telegram biasanya sebagai berikut:
- Kata ganti orang (nya, mu, ku)
- Kata kerja bantu (dengan baik, dengan cepat, dll)
- Kata sambung (dan, juga, serta, dll)
- Kata sandang (si, sang)
- Kata Bantu (akan, telah)
- Kata depan (ini, itu dll)
- Imbuhan (awalan dan akhiran)
      Kata-kata di atas disebut kata-kata fungsi (function words). Walaupun kata-kata fungsi tersebut dihilangkan biasanya tidak menghilangkan makna. Seperti yang sudah dijelaskan terdahulu, bahwa keterampilan anak pada tahap ini bervariasi, ada kemungkinan sebagian dari mereka sudah dapat menambahkan akhiran dan kata-kata fungsi dalam ujaran mereka. Anak-anak dari kota besar memiliki kecenderungan menggunakan akhiran in dalam pengucapan kata kerja yang seharusnya berakhiran kan. Tampaknya mereka lebih mudah menggunakan akhiran in daripada kan. Contoh, “bajunya harus diginiin” ,“tolong beliin balon”, “siniin bonekanya”dsb (Hartati, 2011).

 2.2 Tahap Perkembangan Lanjut Kemampuan Berbahasa
2.2.1 Tahap Tata Bahasa Pra-Dewasa
      Tahap perkembangan bahasa anak ini biasanya dialami oleh anak yang sudah berumur antara 4-5 tahun. Pada tahap ini anak-anak sudah mulai menerapkan struktur tata bahasa dan kalimat-kalimat yang agak lebih rumit. Misal, kalimat majemuk sederhana seperti di bawah ini:
- Mau nonton sambil disuapin.
- Aku di sini, kakak di sana.
- Mama beli sayur sama kerupuk.
- Ani lihat kakek dan nenek di jalan.
- Ayo nyanyi dan nari!
- Kakak, lagi apa?
      Dari contoh kalimat-kalimat di atas, tampak anak sudah “terampil” bercakap-cakap. Kemampuan menghasilkan kalimat-kalimatnya sudah beragam, ada kalimat pernyataan/kalimat berita, kalimat perintah dan kalimat tanya. Kemunculan kalimat-kalimat rumit di atas menandakan adanya peningkatan kemampuan berbahasa anak. Menurut Tarigan (1985 dalam Hartati, 2011), walaupun anak-anak sudah dianggap mampu menyusun kalimat kompleks, tetapi mereka masih membuat kesalahan-kesalahan. Kesalahan tersebut dalam hal menyusun kalimat, memilih kata dan imbuhan yang tepat. Untuk memperbaikinya mereka harus banyak berlatih bercakap-cakap dengan orang tua atau guru sebagai modelnya.
      Pada tahap ini anak sudah tidak mengalami kesulitan dalam mengucapkan bunyi-bunyi. Walaupun mungkin Anda masih menemukan sebagian kecil anak yang tidak dapat mengucapkan bunyi-bunyi tertentu seperti /r/. Sekali lagi orang tua dan guru sangatlah berperan untuk membantu anak memperkaya kosa kata. Menurut Clark (1977 dalam Hartati, 2011) pada tahap ini anak masih mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikirannya ke dalam kata-kata yang bermakna. Hal ini karena anak memiliki ketebatasan-keterbatasan seperti: pengusaan struktur tata bahasa, kosa kata dan imbuhan. Pada tahap ini anak-anak sulit mengucapkan kata-kata yang tidak muncul dari hati nuraninya, tetapi pada dasarnya anak-anak senang mempelajari sesuatu. Lambat laun mereka dapat mempelajari bahwa jika bersalah mereka harus minta maaf dan mengucapkan terima kasih bila ditolong atau diberi sesuatu. Sebenarnya anak itu tidak mau mempergunakan kata-kata yang menurutnya tidak bermakna (Clark, 1997 dalam Hartati, 2011). Jadi jika kata-kata seperti maaf, terima kasih, nada bicara tertentu, dan lain-lain yang tidak difahami tidak ada artinya bagi mereka atau tidak penting bagi anak-anak, maka sulitlah bagi mereka untuk mengucapkannya. Di sinilah pentingnya peranan dan kesabaran orang tua, guru, atau pengasuh anak untuk membimbing dan memberi contoh penggunaan kata-kata yang fungsional , kontekstual dan menyenangkan bagi anak. Untuk memperkaya kebahasaan anak orang tua atau guru dapat mulai dengan mendongeng, bernyanyi, atau bermain bersama anak di samping sesering mungkin mengajaknya bercakap-cakap.

2.3 Tahap Kompetensi Penuh
      Sekitar usia 5-7 tahun, anak-anak mulai memasuki tahap yang disebut sebagai kompetensi penuh. Sejak usia 5 tahun pada umumnya anak-anak yang perkembangannya normal telah menguasai elemen-elemen sintaksis bahasa ibunya dan telah memiliki kompetensi (pemahaman dan produktivitas bahasa) secara memadai. Walau demikian, perbendaharaan katanya masih terbatas tetapi terus berkembang/bertambah dengan kecepatan yang mengagumkan.
      Berikutnya anak memasuki usia sekolah dasar. Selama periode ini, anak-anak dihadapkan pada tugas utama mempelajari bahasa tulis. Hal ini dimungkinkan setelah anak-anak menguasai bahasa lisan. Perkembangan bahasa anak pada periode usia sekolah dasar ini meningkat dari bahasa lisan ke bahasa tulis. Kemampuan mereka menggunakan bahasa berkembang dengan adanya pemerolehan bahasa tulis atau written language acquisition. Bahasa yang diperoleh dalam hal ini adalah bahasa yang ditulis oleh penutur bahasa tersebut, dalam hal ini guru atau penulis. Jadi anak mulai mengenal media lain pemerolehan bahasa yaitu tulisan, selain pemerolehan bahasa lisan pada masa awal kehidupannya.
      Menurut Tarigan (1988 dalam Hartati, 2011) salah satu perluasan bahasa sebagai alat komunikasi yang harus mendapat perhatian khusus di sekolah dasar adalah pengembangan baca tulis. Perkembangan baca tulis anak akan menunjang serta memperluas pengungkapan maksud-maksud pribadi Si Anak, misal melalui penulisan catatan harian, menulis surat, jadwal harian dsb. Dengan demikian perkembangan baca tulis di sekolah dasar memberikan cara-cara yang mantap menggunakan bahasa dalam komunikasi dengan orang lain dan juga dengan dirinya sendiri.
      Pada masa perkembangan selanjutnya, yakni pada usia remaja, terjadi perkembangan bahasa yang penting. Periode ini menurut Gielson (1985 dalam Hartati, 2011) merupkan umur yang sensitif untuk belajar bahasa. Remaja menggunakan gaya bahasa yang khas dalam berbahasa, sebagai bagian dari terbentuknya identitas diri. Akhirnya pada usia dewasa terjadi perbedaan-perbedaan yang sangat besar antara individu yang satu dan yang lain dalam hal perkembangan bahasanya. Hal ini bergantung pada tingkat pendidikan, peranan dalam masyarakat dan jenis pekerjaan.

  
KESIMPULAN
     Ketika seorang anak mempelajari sebuah bahasa, mereka mempelajari kosakata dan juga struktur gramatika—aturan-aturan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik—dari bahasa tersebut. Tidak ada yang mengajarkan mereka aturan-aturan tersebut; anak-anak menyerap semuanya dari lingkungan mereka.
Sebelum seorang anak memproduksi ‘kata-kata’, mereka memproduksi suara-suara/bunyi, beberapa bunyi tersebut akan bertahan jika mereka muncul dalam awal-awal pemerolehan bahasa mereka, beberapa lainnya akan menghilang dan harus dipelajari lagi di tahap selanjutnya. Tahap inilah yang biasa disebut tahap pra-wicara (pre-speech).
     Seorang anak tidak akan mempelajari bahasa dengan sekaligus. Gramatika bahasa diperoleh dalam beberapa tahap. Dalam tahap awal, anak akan menggunakan ungkapan-satu-kata (tahap holofrastik). Setelah beberapa bulan, tahap dua kata muncul, dimana seorang anak mampu menggunakan dua kata untuk mengungkapkan pikirannya. Dua kata ini bukanlah gabungan dua kata yang acak akan tetapi kata-kata tersebut memiliki pola tertentu dan mengungkapkan hubungan gramatika dan semantik. Setelah itu, masih dalam usia dini, kalimat yang lebih panjang pun muncul (tahap telegrafik) yang terdiri dari kosakata-kosakata utama namun masih kurang sesuai dengan kaidah morfemis yang dipelajari di tahap selanjutnya. Pemerolehan bahasa pada anak-anak bervariasi dan mencerminkan penggunaan bahasa di lingkungan tempat anak tersebut tinggal.


Referensi
Akmajian, A., Demers, R. A., & Harnist, R. M. (1986). Linguistics: An Introduction to Language and Communication, Second Edition. London: The MIT Press Cambridge
Dardjowodjojo, Soenjono. (2010). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Franklin, V., Rodman, R., Collins, P., & Blair, D. D. (1990). An Introduction to Language. Second Australian Edition. Australia: PEY Ltd.
Hartati, Tatat. (2011). Pemerolehan dan Perkembangan Bahasa Anak: Modul Mata Kuliah Psikolingusitik. Bandung: UPI
Steinberg, D. D., Nagata, H., & Aline, D. P. (2001). Psycholinguistics: Language, Mind, and World, Second Edition. London: Pearson Education Ltd.