Monday, April 8, 2013

Memahami Keterkaitan dan Peranan Filsafat Ilmu dan Filsafat Bahasa sebagai Kunci Analisis


Ludwig Widdgenstein - Bapak Filsafat Bahasa

disusun oleh:

Hendrik Makaruku
Feisal Aziez

Pendahuluan
Bahasa dan filsafat berjalan berpapasan mengikuti arus sesuai dengan peralihan dari siang ke  petang, dari hari kemarin ke hari esok. Sesorang akan mampu berfilsafat jika bahasa itu ada, begitu juga dengan adanya bahasa, seseorang itu akan berbahasa sesuai dengan hasil penalaran, proses kerja otak dan menghasilkan pengetahuan yang diolah melalui filsafat. Jadi, bahasa dan filsafat merupakan dua sejoli yang tidak terpisahkan. Mereka bagaikan dua sisi mata uang yang senantiasa bersatu.
Hadirnya istilah filsafat bahasa dalam ruang dunia filsafat dapat dikatan sebagai suatu hal yang baru. Istilah muncul bersamaan dengan kecendrungan filsafat abad ke-20 yang bersifat logosentris. Oleh karena itu, sangat wajar apabila ditemukan kesulitan untuk mendapatkan pengertian yang pasti mengenai apa sebetulnya yang dimaksud dengan filsafat bahasa.
Oleh karena itu, dalam makalah ini, akan dibahas mengenai filsafat bahasa dalam beberapa poin sebagai berikut: bahasa sebagai analisis filsafat, menemukan kebenaran lewat bahasa, logika bahasa, imajinasi dan bahasa, bahasa dan pemikiran, dan simbol dan bahasa.

Bahasa sebagai Analisis Filsafat
a. Latar belakang dan pengertian

Dalam pembahasan poin ini, bahasa sebagai analisis filsafatmuncul karena adanya filsafat idealisme yang dikemukakan oleh George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) abad kesembilanbelas yang berkembang di Inggris dan merajai dunia filsafat di seantero Eropa sampai awal abad keduapuluh. Filsafat idealisme ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh/sukma atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan rohani. Pada awal abad keduapuluh iklim filsafat khususnya di Inggris mulai berubah. Para ahli fikir Inggris mulai mencurigai dan meragukan ungkapan-ungkapan filsafat yang diungkapkan oleh kaum Hegelian/pengikut Hegel. Para ahli fikir Inggris menilai ungkapan filsafat idealisme bukan saja sulit dipahami, tetapi juga telah menyimpang jauh dari akal sehat. Oleh karena itu para ahli fikir Inggris berupayamelepaskan diri dari cengkraman filsafat idealisme.
Menurut Charlesworth (1959) melalui Mustansyir, filsafat Inggris setelah melewati lima puluh tahun belakangan ini mulai bangkit dalam suatu bentuk revolusi sebagai reaksi
menentang pengaruh kaum Hegelian. Revolusi yang semula ditimbulkan oleh ahli fikir Inggris yang cukup terkenal yaitu, G.E. Moore, segera disambut hangat oleh tokoh Cambridge lainnya, Bertrand Russel, kemudian dilanjutkan secara beranting oleh Wittgenstein. Melalui Wittgenstein inilah muncul aliran filsafat baru yaitu aliran filsafat analisis bahasa, filsafat bahasa atau filsafat analitik sebagai revolusi yang menentang pengaruh kaum Hegelian.
Secara umum orang akan berasumsi bahwa filsafat bahasa memuat pengertian penggabungan dua kata ‘filsafat’ dan ‘bahasa’. Maka dengan demikian, asumsi tersebut akan mengacu pada filsafat tentang bahasa atau berfilsafat melalui bahasa. Asumsi tersebut tidak dapat dipersalahkan meskipun esensinya tidak sesempurna apa yang menjadi hakikat filsafat bahasa.
Filsafat bahasa yang juga dikenal dengan sebutan filsafat analitik tumbuh dan berkembang di Eropa terutama Inggris pada abad keduapuluh. Mengutip definisi yang ditawarkan Wicoyo (1997: 1) melalui Lubis(2005),bahwa filsafat bahasa adalah bidang filsafat khusus yaitu masalah yang dibahas dengan bahasa. Namun berbeda dengan ilmu bahasa atau linguistik yang membahas mengenai ucapan, tata bahasa, dan kosa kata, filsafat bahasa lebih berkenaan dengan bagaimana suatu ungkapan bahasa itu mempunyai arti, sehingga analisa filsafat tidak lagi dimengerti atau tidak lagi dianggap harus didasarkan pada logika teknis, baik logika formal maupun matematik, tetapi berfilsafat didasarkan pada penggunaan bahasa biasa. Bila disimak dan diteliti pernyataan di atas maka dapat disederhanakan bahwa filsafat bahasa merupakan penyederhanaan konsep filsafat melalui alat bantu bahasa. Dengan kata lain penjabaran nuansa filsafat melalui medium bahasa dikenal dengan sebutan filsafat bahasa.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Wicoyo, Kaelan (1998: 576) melalui Lubis(2005),mengutarakan bahwa filsafat bahasa sebagai salah satu cabang filsafat adalah pemecahan masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat melalui analisis bahasa, karena bahasa merupakan sarana yang vital dalamfilsafat misalnya melalui berbagai macam pertanyaan filosofis seperti ‘kebenaran’, ‘keadilan’, ‘kewajiban’, ‘kebaikan’ dan pernyataan-pernyataan fundamental filosofis lainnya dapat diuraikan dan dianalisis melalui bahasa atau analisis penggunaan bahasa.
Dari kedua kutipan di atas dapat disederhanakan bahwa filsafat bahasa merujuk pada pemahaman tentang konsep filsafat melalui analisis bahasa. Dengan kata lain, kebingungan yang sering ditawarkan dalam berfilsafat dapat dipermudah melalui analisis bahasa. Atau
melalui medium bahasa kebermaknaan unsur berfilsafat akan lebih jelas dan mudah dipahami dengan bantuan medium bahasa dalam hal ini adalah analisis bahasa.

b. Penjelasan lanjutan dan contoh-contoh

Berbahasa sepertinya didapatkan secara alamiah sehingga tidak perlu mempelajarinya. Padahal pengertian ini hanya bagi kaum awam yang tidak memahami betapa kompleks dan kayanya khasanah bahasa dalam aktifitas kehidupan manusia sehari-hari. Sadar atau tidak sadar, bahasa atau ungkapan bahasa seseorang tetap memilikimakna atau realitas terhadap sesuatu yang dirujuknya. Dalam percakapan sehari-hari mungkin kita sering mendengar dan tidak menyadari betapa dalamnya makna yang dikandung ungkapan tersebut. Sebagai contoh ketika si A menyadari bahwa si B memakai baju baru,maka si A akan menyapa si B dengan teguran ramah:
A: Kamu baju baru, ya?
B: (menjawab) Ah! Tidak, tetapi tersenyum.
Bila kita perhatikan esensi dari ungkapan di atas maka kita memperoleh gambaran pemikiran sesuatu yang kontras. Kata ‘tidak’ bukan berartimenidakkan karena ‘senyum’ merujuk kepada pengakuan bahwa si B memang memakai baju baru. Realitas ungkapan bahasa di atas dikaitkan pada filsafat bahasa dalam arti akal budi atau pemikiran dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang kabur atau absurd. Hal ini bisa jadi berkaitan dengan nilai budaya ketimuran yang terkenal ramah dan berkesan tertutup. Dengan kata lain, sikap keterus terangan maupun ketransparanan ditutupi oleh kenaifan yang amat lugu namun memiliki kesan tidak mempunyai sikap keberanian untuk terbuka.
Masih ada lagi ungkapan bahasa dalam bentuk pepatah yang sangat mengandung nilai budaya yang tinggi bagi masyarakat Indonesia. Pepatah tersebut sering dimaksudkan pada kondisi seseorang yang menghadapi pilihan yang teramat berat untuk membuat sesuatu keputusan. Pepatah tersebut adalah: “Bagaikan makan buah simalakama. Dimakan mati ibu tidak dimakan mati bapak”. Dari sudut pandang filsafat, maka makna dari ungkapan bahasa di atas adalah terbenturnya suatu sikap mengambil kebijakan karena adanya dua pilihan yang beresiko. Dengan kata lain, tidak ada jalan keluar sebijak apapun kecuali penentuan sikap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Namun kenyataannya pepatah tersebut dewasa ini sering dipelesetkan dari esensi makna yang sebenarnya. Dikatakan bila seseorang dari suku Batak dihadapkan pada masalah tersebut, maka dia akan merasakan buahnya dulu tanpa menelannya. Artinya, bagi dia makan berbeda dengan mengkulum atau merasakan buah tersebut di dalam mulut. Berbeda dengan
etnis Cina yang budayanya senang berdagang. Dia akan merasakan buah tersebut dengan mengulumnya ke dalam mulut dan kemudian menjualnya kepada orang lain.
Tentu pelesetan seperti di atas tidak lagi identik dengan makna yang sebenarnya dari ungkapan bahasa tersebut. Dengan demikian peran filsafat bahasa yang menganalisis konsep filsafat melalui medium bahasa akan mempertegas makna yang sebenarnya yaitu pilihan yang teramat sulit untuk diputuskan. Pergeseran interpretasi realitas ungkapan bahasa sering terjadi karena adanya perubahan tatanan nilai budaya di tengah tengah masyarakat. Sebagai contoh kita bisa membedakan persepsi generasi tua dengan generasi muda tentang ungkapan bahasa dalam bentuk pepatah di bawah ini:

Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian.

Generasi tua akan menginterpretasikan konteks filsafati ungkapan tersebut pada masanya yang memang serba sulit dan butuh perjuangan ekstra keras. Dengan demikian, kaum tua lebih menyederhanakannya dengan keyakinan bahwa hidup harus dihadapi dengan semangat baja di mana seseorang harus siap menderita untuk memperoleh keberhasilan. Hal ini memang merupakan realita yang dialami kaum generasi tua pada masanya untuk meraih keberhasilan hidup. Bagi kaum generasi muda yang menumpang di keberhasilan orang tuanya akan menginterpretasikan makna yang berbeda. Kaum muda lebih menghubungkannya dengan situasi sekarang yang serba cepat untuk memperoleh kemenangan/siapa cepat dia menang. Kaum muda bahkan memberikan respon yang lebih radikal bahwa setelah sakit yang lebih dekat adalah kematian bukan kesenangan.
Merujuk pada realitas ungkapan bahasa dalam konteks filsafat bahasa, ungkapan di atas perlu dicermati pada nuansa kulturalnya. Di dalam ungkapan tersebut pada bait pertama dan kedua merujuk pada usaha, sementara pada bait ketiga dan keempat merupakan kemungkinan hasilnya: bisa susah bisa senang. Hal ini dimungkinkan karena tidak setiap usaha akan membuahkan hasil yang diidamkan. Interpretasi realitas ungkapan bahasa tidak terlepas dari pemahaman makna dari tiap unsur bahasa yang diajarkan. Oleh karena itu, analisis bahasa dalam arti filsafat bahasa membuat penegasan tentang keberadaan makna realitas dari bahasa itu sendiri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa makna realitas ungkapan bahasa merupakan prediksi untuk ke depan. Meskipun dampaknya pada saat itu kurang dimengerti, namun pada waktu ke
depannya, cukup mempunyai makna kultural yang sangat berharga. Misalnya pepatah bagi suku Batak Toba yang mengatakan:

Beranak empat belas
Berputri tujuh belas
‘Maranak sampuluopat
Marboru sampulupitu’

Pada mulanya pepatah ini lebih ditekankan pada pentingnya kuatitas manusianya yang mana pada saat itu etnis Batak mempercayai banyak anak akan memperoleh banyak berkat. Meskipun hal ini sedikit bertentangan dengan kebijakan pemerintah untuk program Keluarga Berencana.
Namun bila dicermati ungkapan pepatah di atas sangat relevan dengan kondisi tuntutan bangsa dewasa ini yakni ‘orang tua asuh’. Sadar atau tidak sadar bagi suku etnis Batak Toba dapat merefleksikan konsep filsafati ungkapan tersebut sebagai wujud nyata dari makna yang terkandung dalam pernyataan tersebut. Dengan demikian realitas ungkapan yang tersembunyi dalam ungkapan tersebut merupakan sesuatu yang unpredictable. Untuk ke depannya dalam arti waktu dulu danwaktu sekarang untuk memahami konsep pemikiran yang ada dalam pepatah batak tersebut.
Dari beberapa contoh ungkapan bahasa di atas baik berupa statement atau pernyataan dan berupa pepatah dapat ditelusuri bahwa filsafat benar-benar merujuk pada hal-hal yang bijaksana. Dengan kata lain konsep filsafati dalam ungkapan bahasa selalu mengandung makna hakiki tentang pertanyaan-pertanyaan yang mengacu pada rasa keadilan manusia dan rasa kepeduliaan untuk mengerti tentang nilai hakiki dari kehidupan. Realitas ungkapan bahasa dalam konteks filsafat bahasa tidak lain dan tidak bukan untuk mempertegas dan memperjelas makna konsep-konsep atau masalah-masalah filsafat melalui analisis bahasa. Dengan kata lain melalui analisis bahasa kerangka pemikira logis yang sederhana dan mudah dipahami akan bisa menetralisir nuansa filsafat yang rada kompleks dan sukar.

Menemukan Kebenaran Lewat Bahasa

Berbicara mengenai kebenaran lewat bahasa, tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa mempunyai peranan penting dalam pencarian kebenaran dalam filsafat. Menurut Ibrahim (2008), kebenaran lewat bahasa dapat ditelaah dengan teorikebenaran semantis yang berkaitan dengan bahasa dan tutur kata.
Menurut Septarina(2011), teori kebenaran semantis dianut oleh faham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrantd Russel sebagai tokoh pemula
dari filsafat Analitika Bahasa. Menurut teori kebenaran semantik suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai pengacu (referent) yang jelas Dengan demikian, teori kebenaran semantik menyatakan bahwa proposisi itu mempunyai arti. Arti ini dengan menunjukkan makna yang sesungguhnyadengan menunjukkan pada referensi itu atau kenyataan, juga arti yangdikemukakan itu memiliki arti yang bersifat definitive (arti yang jelas dengan menunjuk ciri yang khas dari sesuatu yang ada). Dalam teori kebenaran semantic ada beberapa sikap antara lain.
a. sikap epistemologis skeptik maksudnya ialah suatu sikap kebimbangan taktisatau sikap keragu-raguan untuk menghilangkan rasa ragu dalam memperolehpengetahuan. Dengan sikap yang demikian dimaksudkan untuk mencapai suatu makna yang esoteric yaitu makna yang benar-benar pasti yang dikandung oleh suatu pernyataan
b. sikap epistemologik ideologik artinya adalah bahwa proposisi itu memiliki arti namun arti itu bersifat arbitrer (sewenang-wenang) atau kabur, dan tidak memiliki sifat pasti.Jika mencapai kepastian, maka kepastiannya itu hanyalah berdasar pada kepercayaan yang ada pada dirinya sendiri
c. sikap epistemologik pragmatikyaitu makna dari suatu pernyataan yang amat tergantung pada dan berdasarkan pada nilai guna dan nilai praktis dari pemakai proposisi.Akibat semantisnya adalah kepastian yang terletak pada subjek yang menggunakan proposisi itu.

Logika Bahasa

Logika bahasa merupakan gagasan yang diawali dengan hal-hal atau fakta yang bersifat khusus, yang dituangkan dalam beberapa kalimat (berupa kalimat penjelasan) berdasarkan penjelasan itu berakhir pada kesimpulan umum. Menurut Anur(2009)Logika Bahasa terdiri dari 2 bagian penting : penalaran induktif dan penalaran deduktif.

1. Penalaran induktif

Penlaran induktif adalah proses penalaran untuk manari kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku umum berdasarkan fakta –fakta yang bersifat khusus, prosesnya disebut Induksi. Penalaran induktif tekait dengan empirisme. Secara impirisme, ilmu memisahkan antara semua pengetahuan yang sesuai fakta dan yang tidak. Sebelum teruji secara empiris, semua penjelasan yang diajukan hanyalah bersifat sentara. Penalaran induktif ini berpangkal pada empiris untuk menyusun suatu penjelasan umum, teori atau kaedah yang berlaku umum.
Contoh :
Harimau berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan. Babi berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan. Ikan paus berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan.
Kesimpulan : semua hewan yang berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan.

2. Penalaran Deduktif

Penalaran Deduktif adalah proses penalaran untuk manarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku khusus berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat umum. Proses penalaran ini disebut Deduksi. Kesimpulan deduktif dibentuk dengan cara deduksi. Yakni dimulai dari hal-hal umum, menuku kepada hal-hal yang khusus atau hal-hal yang lebih rendah proses pembentukan kesimpulan deduktif terebut dapat dimulai dai suatu dalil atau hukum menuju kepada hal-hal yang kongkrit.
Macam-macam penalaran deduktif diantaranya :
a. Silogisme

Silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme disusun dari dua proposi (pernyataan) dan sebuah konklusi (kesimpulan). Dengan fakta lain bahwa silogisme adalah rangkaian 2 pendapat dan 1 kesimpulan.
Contoh :
Semua manusia mempunyai akal
Ali adalah manusia
Jadi, Ali mempunyai akal
b. Entimen

Entimen adalah penalaran deduksi secara langsung. Dan dapat dikatakan pula silogisme premisnya dihilangkan atau tidak diucapkan karena sudah sama-sama diketahui.
Contoh :
Proses fotosintesis memerlukan sinar matahari Pada malam hari tidak ada matahari Pada malam hari tidak mungkin ada proses fotosintesis

Imajinasi dan Bahasa

Dalam perspektif awam, imajinasi masih sering diposisikan dalam arti peyoratifnya. Imajinasi dianggap serupa dengan ilusi, khayalan, dan fantasi. Salah persepsi ini berakibat pada masih kurang dipertimbangkannya imajinasi sebagai sumber pengetahuan yang sahih. Mengganggap imajinasi sejenis dengan khayalan, fantasi, atau ilusi, merupakan sikap yang gegabah. Istilah fantasi itu sendiri lebih berkaitan dengan daya membayangkan sesuatu hal yang tidak real atau yang tidak mungkin terjadi. Dengan demikian, fantasi sepadan dengan khayalan atau ilusi, terjemahan dari bahasa Inggris, illusion. Secaraterminologis, ilusi berarti ide, keyakinan, atau kesan tentang sesuatu yang jelas-jelas keliru. Jika fantasi (daya yang menghasilkan khayalan) berhubungan dengan gambaran objek yang tidak mungkin dan memang tidak ada dalam kenyataan, maka imajinasi merupakan daya yang menghasilkan gambaran objek yang bersifat mungkin atau logis. Imajinasi tidak terkait dengan penggambaran yang membabi buta tentang suatu objek atau konsep tertentu (Afif, 2009).
Dalam bahasa inggris, ada beberapa variasi kata untuk imajinasi, yaitu imagery, imaginary, danimagine. Imagerymerupakan bahasa figuratif untuk merujuk sebuah gambaran, objek, ide, dalam pikiran seseorang (pembaca atau pendengar), sehingga istilah ini sering digunakan oleh para penyair dalam karya-karyanya. Imagerysering diartikan sebagai perumpamaan/tamsil, meskipun ia memiliki arti yang lebih luas dari sekedar perumpamaan. Selanjutnya, imaginarydalam bahasa Indonesia sering diartikan sebagai yang imajiner atau khayal; contohnya bilangan imajiner sebagai bilangan khayal. Sementara kataimagine(kata kerja) berarti membentuk suatugambaran mental tentang sesuatu, atau memikirkan sesuatu sebagai bisa terjadi atau mungkin. Imagineadalah tindakan membayangkan, meskipun pada prakteknya terdapat perbedaan antara “membayangkan” dan “mengimajinasikan”. “Membayangkan” mempunyai konotasi sebagai sesuatu yang lebih mudah dilakukan karena berhubungan dengan sesuatu yang menyenangkan. Sedangkan “mengimajinasikan” itu merambah wilayah yang lebih luas sehingga tidak dapat direduksi sebagai sekedar membayangkan. Maka dari itu, imajinasi lebih tepat diartikan sebagai kekuatan potensial yang telah memberikan kontribusi berharga bagi lahirnya pengetahuan.
Perlu diketahui perbedaan antara berimajinasi dan berpikir (logis). Menurut Afif (2012) berpikir merupakan aktivitas mental untuk melahirkan atau memformulasikan pengetahuan dengan merujuk pada aturan berpikir atau konsep tertentu yang cenderung bersifat membatasi, bahkan mengikat. Misalnya anjuran berpikir lurus menurut logika identitas Aristotelian –di mana cara berpikir yang tidak mematuhi hukum logika tersebut dapat terjatuh dalam “sesat pikir” (the fallacy).Sementara dalam berimajinasi proses mental kita tidak lagi diikat oleh hukum berpikir atau konsep kebenaran tertentu, sehingga pikiran menjadi bebas untuk mencari wawasan pengetahuan baru. Disadari atau tidak, peran imajinasi begitu besar dalam melahirkan teori-teori besar di bidang ilmu pengetahuan. Ketika para ilmuwan sudah kehabisan ide untuk memecahkan suatu permasalahan—karena logika telah menunjukkan keterbatasan-keterbatasannya, terkadang imajinasi bebas mereka justru
yang mempunyai peranan besar dalam pemecahan problem-problem keilmuan. Bahkan ilmuwan sekaliber Einstein mengatakan, ”Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Logika akan membawa Anda dari A ke B, sedangkan Imajinasi akan membawa anda kemana-mana”.Peran imajinasi dalam proses penelusuran pengetahuan membawa banyak hal yang sering tak terduga. Meski berimajinasi tidak dibatasi oleh hukum berpikir dan konsep tertentu, namun proses mental tetap terarah pada citra atau imaji-imaji tertentu sebagai representasi dari persoalan yang sedang dibayangkan. Ketika Einstein menemukan rumus E=mc2, dia tentu meng-imaji-kan variabel-variabel itu dalam pikirannya. Ketika Newton tiba-tiba menyadari teori gravitasinya karena melihat buah apel jatuh ke tanah, dia juga men-citra-kan sesuatu dalam benaknya. Dengan demikian, mengimajinasikan “imaji” merupakan proses yang melahirkan kedua teori tersebut.
Tentang kemampun melahirkan konsep dari imaji-imaji, ada sebuah konsep menarik yang diperkenalkan Sartre (melalui Afif, 2009) dalam bukunya L’imaginaire: Psychologie phenomenogique de l’imagination(1940), yaitu tentang “imajinasi kreatif”. Imajinasi kreatif ini terkait dengan kemampuan pikiran seseorang untuk merasakan apa yang disebut Kant “pengalaman estetik”. Ketika seseorang mampu menangkap makna dan menemukan seepisode cerita dalam sebuah lukisan, atau merasakan emosi dalam selantun lagu yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain, maka orang itu memiliki imajinasi kreatif. Dengan kata laintidaklah disebut imajinatif jika melihat makna dan cerita dalam sebuah lukisan yang juga bisa dilihat orang lain. Imajinasi kreatif ini disebut Sartre sebagai “tindakan menciptakan sebuah objek dalam ketiadaannya”.
Hans George Gadamer(melalui Afif, 2009), dalam Philosophical Hermeneutics (1977) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang tumbuh dalam ruang sosial dan masa historis tertentu. Citra tentang manusia dan lingkungannya selalu dibentuk dan direkayasa dalam lembaran sejarah. Sehingga, tidaklah berlebihan jika Simone Weil (melalui Afif, 2009) menganggap bahwa imajinasi dan fiksi telah membentuk lebih dari tiga perempat kehidupan nyata manusia. Pernyataan di atas hendak menegaskan bahwa pengetahuan yang kita peroleh sebenarnya lahir dari imaji-imaji tentang segala hal yang telah kita cecap, entah ia merujuk pada objek yang real ataupun yang imajiner. Imaji-imaji yang memenuhi ruang mental kita itu menjadi semacam penyedia bahan baku bagi kegiatan merumuskan pengetahuan. Dalam konteks ini, antara imajinasi dan rasio sebenarnya saling mendukung. Sebagai salah satu potensi intelek, imajinasi berfungsi sebagai pemecah kebuntuan ketika rasio tidak lagi mampu menyelesaikan persoalan pengetahuan yang membekap kita. Dengan dayanya, imajinasi mampu membuat tautologi-tautologi baru atas imaji-imaji yang memenuhi
benak kita yang tidak dapat dikerjakan oleh rasio. Ketika pola-pola tautologi itu telah eksis dalam pikiran kita, rasio kemudian memerankan dirinya kembali, yaitu sebagai evaluator dan perumus bagi tautologi-tautologi itu agar polanya semakin matang dan presisi. Imajinasi membuat dunia hadir dalam banyak kemungkinan, dan rasio membuat kemungkinan-kemungkinan itu menjadi pengetahuan yang masuk akal.
Imajinasi juga memampukan kita menghayati dunia dan kenyataan sebagai momen puitis (ingat imajinasi kreatifnya Sartre). Jika di ranah saintifik antara imajinasi dan rasio masih bisa didamaikan, maka di ranah estetis keduanya cenderung saling menegasikan. Sebagai modus representasi dunia dan kenyataan, imajinasi adalah sumber bagi bahasa konotatif-puitis, sementara rasio adalah sumber bagi bahasa denotatif-logis. Kedua modus representasi ini akan melahirkan corak dunia yang sangat berbeda. Jika kita hanya mengandalkan bahasa denotatif-logis sebagai basis representasi, maka dunia akan mewujud sebagai objek formulatif semata. Di ranah estetis, dengan mengacu Heidegger, bahasa konotatif-puitis sebenarnya lebih berpotensi memunculkan “ketidaktersembunyian” (aletheia)karena lebih membuka pengalaman, bukan menciutkannya. Oleh karena bahasa puisi hendak meng-imaji-kan sesuatu, maka hanya imajinasilah yang mampu memberikan konteks imajinatif pada pikiran kita.

Bahasa dan Pemikiran

Lazimnya, selain logika dan matematika, epistemologi juga memandang bahasa sebagai piranti sangat penting untuk menghasilkan pengetahuan yang sahih. Dengan ungkapan lebih sederhana, bahasa merupakan salah satu sarana berpikir ilmiah, sekaligus juga sarana untuk menyampaikan hasil pemikiran ilmiah. Karena itu, penting sekali bagi siapa pun yang akan memasuki dunia pengetahuan secara umum untuk memahami hubungan antara bahasa dengan kegiatan berpikir. Memang tidak banyak filsuf atau ilmuwan yang menaruh perhatian cukup besar terhadap hubungan antara bahasa dan pemikiran, apalagi dikaitkan dengan peradaban. Dari jumlah yang sedikit tersebut, bisa disebut antara lain Thomas Hobbes, Ludwig Wittgenstein, Ernest Cassirer, dan Michael Polanyi (Rahardjo, 2010).
Mana yang lebih dulu dan lebih penting antara bahasa dan pemikiran? Bisakah tumbuh bahasa tanpa pemikiran? Mungkinkah pemikiran berlangsung tanpa bahasa? Barangkali itu merupakan sejumlah pertanyaan yang begitu menggoda untuk ditelaah terus-menerus.
Thomas Hobbes, (melalui Rahardjo, 2010), seorang filsuf terkemuka berkebangsaan Inggris, mempertanyakan ‖apa yang memungkinkan pengetahuan manusia terus-menerus berkembang?‖ Perenungannya sampai pada simpulan bahwa keistimewaan manusia terletak pada kemampuannya menandai secara simbolik setiap kenyataan. Secara filosofis, sebutan manusia sebagai makhluk pengguna simbol memiliki cakupan lebih luas dibanding sebutan manusia sebagai makhluk berpikir (homo sapiens), karena hanya bila menggunakan bahasa maka manusia bisa berpikir dengan runtut, teratur, canggih, dan abstrak. Lebih lanjut, semua prestasi kolektif manusia, seperti khasanah pengetahuan keilmuan, kemajuan peradaban, serta budaya, hampir pasti tidak bisa diwujudkan tanpa peran bahasa sebagai prasyarat utama.
Sebegitu jauh, bahasa telah memberikan sumbangan paling pentingnya bagi umat manusia. Namun demikian, sebagaimana diuraikan oleh Michael Polanyi (melalui Rahardjo, 2010), seorang filsuf berkebangsaan Hongaria, terdapat paradoks hubungan antara bahasa dan pengetahuan. Di satu sisi, bahasa memungkinkan manusia untuk berbagi, mewariskan, dan mengembangkan hasil buah pemikiran, yang di antaranya adalah pengetahuan. Di sisi lain, karena sifat dasar yang juga tak terelakkan, ternyata bahasa juga cenderung menyederhanakan kenyataan yang seharusnya bisa dipaparkan, dijelaskan, dan bahkan diramalkan secara apa adanya oleh ilmu.

Simbol dan Bahasa

Eaerns Cassirer, seorang sarjana dan seorang filosof mengatakan bahwa manusia adalah mahluk bersimbol (animal symbolicum). Hampir tidak ada kegiatan yang tidak terlepas dari simbol atau lambang. Termasuk alat komunikasi verbal yang disebut bahasa. Satuan-satuan bahasa misalnya kata adalah simbol atau lambang (Chaer, 2007:39, melalui Azhar & Negara, 2012). Kalau ide atau konsep untuk menyatakan kematian adalah bendera hitam (dalam bentuk tanda), dan ide atau konsep ketuhanan dilambangkan dengan gambar bintang (dalam bentuk gambar), maka lambang-lambang bahasa diwujudkan dalam bentuk bunyi, yang berupa satuan-satuan bahasa, seperti kata atau gabungan kata yang sifatnya arbriter. Dalam bahasa Indonesia, binatang berkaki empat yang bisa dikendarai  dilambangkan dengan bunyi [kuda], dalam bahasa Inggris berupa bunyi yang ditulis horse dan dalam bahasa Belanda berupa bunyi yang ditulis paard.
Dalam penerapannya, filsafat dapat dengan lebih luas diterapkan dengan memakai “tanda-tanda” atau “simbol-simbol” yang verbal dari pada yang non-verbal. Dalam kajian tanda atau semiotika, bahasa adalah tanda verbal paling fundamental yang digunakan manusia dalam menyampaikan suatu informasi atau pengetahuan (Budiman, 1999: 109,
melalui Azhar & Negara, 2012). Sebagai gambaran, kita masih dapat mengungkapkan informasi tentang matahari terbit (the sun rises) dengan simbol non-verbal (bukan bahasa), yaitu dengan ekspresi visual yang terdiri dari garis horizontal, setengah lingkaran garis-garis pendek yang memancar dari tengah imajiner setengah lingkaran tersebut. Namun akan lebih sulit untuk mengungkapkan informasi tentang matahari jugaterbit (the sun also rises) dengan menggunakan tanda visual itu (Eco, 2009: 259, melalui Azhar & Negara, 2012). Dan hampir tidak mungkin dengan sarana visual mengungkapkan informasi tentang: Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir adalah penulis buku Filsafat Ilmu.
Karena itu, suatu sistem filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat dipandang sebagai suatu bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat dipandang sebagai suatu upaya menyusun bahasa tersebut, sehingga filsafat dan bahasa akan selalu beriringan, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Sebab bahasa pada hakikatnya merupakan sistem simbol-simbol, sedangkan tugas filsafat yang utama adalah mencari jawab atau makna dari seluruh simbol yang menampakkan diri di alam semesta ini, dan bahasa juga untuk membongkar seluruh rahasia simbol-simbol tersebut (Hidayat, 2006: 31, melalui Azhar & Negara, 2012).

Kesimpulan

 Filsafat bahasa sebagai salah satu cabang filsafat adalah pemecahan masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat melalui analisis bahasa, karena bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat misalnya melalui berbagai macam pertanyaan filosofis seperti ‘kebenaran’, ‘keadilan’, ‘kewajiban’, ‘kebaikan’ dan pernyataan-pernyataan fundamental filosofis lainnya dapat diuraikan dan dianalisis melalui bahasa atau analisis penggunaan bahasa.
 Teori kebenaran semantis dianut oleh faham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrantd Russel sebagai tokoh pemula dari filsafat Analitika Bahasa. Menurut teori kebenaran semantik suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai pengacu (referent) yang jelas Dengan demikian, teori kebenaran semantik menyatakan bahwa proposisi itu mempunyai arti. Arti ini dengan menunjukkan makna yang sesungguhnyadengan menunjukkan pada referensi itu atau kenyataan, juga artiyangdikemukakan itu memiliki arti yang bersifat definitif.
 Logika bahasa merupakan gagasan yang diawali dengan hal-hal atau fakta yang bersifat khusus, yang dituangkan dalam beberapa kalimat (berupa kalimat penjelasan) berdasarkan penjelasan itu berakhir pada kesimpulan umum yang dinyatakan dengan kalimat topik. Logika Bahasa terdiri dari 2 bagian penting : penalaran induktif dan penalaran deduktif.
 Sebagai modus representasi dunia dan kenyataan, imajinasi adalah sumber bagi bahasa konotatif-puitis, sementara rasio adalah sumber bagi bahasa denotatif-logis. Kedua modus representasi ini akan melahirkan corak dunia yang sangat berbeda. Jika kita hanya mengandalkan bahasa denotatif-logis sebagai basis representasi, maka dunia akan mewujud sebagai objek formulatif semata.
 Lazimnya, selain logika dan matematika, epistemologi juga memandang bahasa sebagai piranti sangat penting untuk menghasilkan pengetahuan yang sahih. Dengan ungkapan lebih sederhana, bahasa merupakan salah satu sarana berpikir ilmiah, sekaligus juga sarana untuk menyampaikan hasil pemikiran ilmiah.
 Suatu sistem filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat dipandang sebagai suatu bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat dipandang sebagai suatu upaya menyusun bahasa tersebut, sehingga filsafat dan bahasa akan selalu beriringan, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Sebab bahasa pada hakikatnya merupakan sistem simbol-simbol, sedangkan tugas filsafat yang utama adalah mencari jawab atau makna dari seluruh simbol yang menampakkan diri di alam semesta ini, dan bahasa juga untuk membongkar seluruh rahasia simbol-simbol tersebut.

Afif, Afthonul. 2009. Imajinasi dan Pengetahuan. http://psikotikafif.wordpress.com/2009/09/14/imajinasi-dan-pengetahuan/diunduh tanggal 2-11-2012
Anur, Muhsy. 2009. Logika Bahasa. http://readone82.blogdetik.com/2009/08/26/logikabahasa/diunduhtanggal 3-11-2012.
Azhar, Iqbal Nurul & Negara, Ananda Surya. 2012. Peranan filsafat dalam mengembangkan linguistik.http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/artikel-bahasa/peranan-filsafat-dalam-mengembangkan-linguistik/diunduh tanggal 31-10-2012.
Asmara, Henry. 2009. Filsafat Ilmu Bahasa. http://azmara-azmara.blogspot.com/2009/01/filsafat-ilmu-bahasa.htmldiunduh tanggal 31-10-2012.
Endraswara, Suwardi. 2012. Filsafat Ilmu: Konsep, Sejarah, dan Pengembangan Metode Ilmiah.Yogyakarta: CAPS
Ibrahim, Slamet. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan. http://telekomunikasi.itb.ac.id/~angga/ebook/filsafat%20ilmu/bahan%20UTS/FILSAFATdiunduh tanggal 3-11-2012.
Lubis, S.M.2005.RealitasUngkapanBahasaDalamKonteks FilsafatBahasa: Sebuah Tafsiran.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17578/1/eng-nov2005-1%20%286%29.pdfdiunduh tanggal 1-11-2012.
Muhadjir, Noeng. 2006. Filsafat Ilmu: Kualitatif dan Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, Edisi 3. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mustansyir, Rizal. 2007. Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan para tokohnya.Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Rahardjo, Mudjia. 2010. Bahasa, Pemikiran, dan Peradaban: telaah filsafat pengetahuan dan sosiolinguistik. http://mudjiarahardjo.com/artikel/130-bahasa-pemikiran-dan-peradaban-telaah-filsafat-pengetahuan-dan-sosiolinguistik.html diunduh tanggal 3-11-2012.
Septarina, Nita. 2009.17 Teori Kebenaran.http://www.scribd.com/doc/48466003/17-Teori-kebenarandiunduh tanggal 3-11-2012.