Ludwig Widdgenstein - Bapak Filsafat Bahasa
disusun oleh:
Hendrik Makaruku
Feisal Aziez
Pendahuluan
Bahasa dan filsafat berjalan berpapasan mengikuti arus sesuai dengan
peralihan dari siang ke petang,
dari hari kemarin ke hari esok. Sesorang akan mampu berfilsafat jika bahasa itu
ada, begitu juga dengan adanya bahasa, seseorang itu akan berbahasa sesuai
dengan hasil penalaran, proses kerja otak dan menghasilkan pengetahuan yang
diolah melalui filsafat. Jadi, bahasa dan filsafat merupakan dua sejoli yang
tidak terpisahkan. Mereka bagaikan dua sisi mata uang yang senantiasa bersatu.
Hadirnya istilah filsafat bahasa dalam ruang dunia filsafat dapat dikatan
sebagai suatu hal yang baru. Istilah muncul bersamaan dengan kecendrungan
filsafat abad ke-20 yang bersifat logosentris. Oleh karena itu, sangat wajar
apabila ditemukan kesulitan untuk mendapatkan pengertian yang pasti mengenai
apa sebetulnya yang dimaksud dengan filsafat bahasa.
Oleh karena itu, dalam makalah ini, akan dibahas mengenai filsafat bahasa
dalam beberapa poin sebagai berikut: bahasa sebagai analisis filsafat,
menemukan kebenaran lewat bahasa, logika bahasa, imajinasi dan bahasa, bahasa
dan pemikiran, dan simbol dan bahasa.
Bahasa sebagai Analisis Filsafat
a. Latar belakang dan pengertian
Dalam pembahasan poin ini, bahasa sebagai analisis filsafatmuncul karena
adanya filsafat idealisme yang dikemukakan oleh George Wilhelm Friedrich Hegel
(1770-1831) abad kesembilanbelas yang berkembang di Inggris dan merajai dunia
filsafat di seantero Eropa sampai awal abad keduapuluh. Filsafat idealisme ini
beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari
ruh/sukma atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan
menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan
rohani. Pada awal abad keduapuluh iklim filsafat khususnya di Inggris mulai
berubah. Para ahli fikir Inggris mulai mencurigai dan meragukan
ungkapan-ungkapan filsafat yang diungkapkan oleh kaum Hegelian/pengikut Hegel.
Para ahli fikir Inggris menilai ungkapan filsafat idealisme bukan saja sulit
dipahami, tetapi juga telah menyimpang jauh dari akal sehat. Oleh karena itu
para ahli fikir Inggris berupayamelepaskan diri dari cengkraman filsafat
idealisme.
Menurut Charlesworth (1959) melalui Mustansyir, filsafat Inggris setelah
melewati lima puluh tahun belakangan ini mulai bangkit dalam suatu bentuk
revolusi sebagai reaksi
menentang pengaruh kaum Hegelian. Revolusi yang semula ditimbulkan oleh
ahli fikir Inggris yang cukup terkenal yaitu, G.E. Moore, segera disambut
hangat oleh tokoh Cambridge lainnya, Bertrand Russel, kemudian dilanjutkan
secara beranting oleh Wittgenstein. Melalui Wittgenstein inilah muncul aliran
filsafat baru yaitu aliran filsafat analisis bahasa, filsafat bahasa atau
filsafat analitik sebagai revolusi yang menentang pengaruh kaum Hegelian.
Secara umum orang akan berasumsi bahwa filsafat bahasa memuat pengertian
penggabungan dua kata ‘filsafat’ dan ‘bahasa’. Maka dengan demikian, asumsi
tersebut akan mengacu pada filsafat tentang bahasa atau berfilsafat melalui
bahasa. Asumsi tersebut tidak dapat dipersalahkan meskipun esensinya tidak
sesempurna apa yang menjadi hakikat filsafat bahasa.
Filsafat bahasa yang juga dikenal dengan sebutan filsafat analitik tumbuh
dan berkembang di Eropa terutama Inggris pada abad keduapuluh. Mengutip
definisi yang ditawarkan Wicoyo (1997: 1) melalui Lubis(2005),bahwa filsafat
bahasa adalah bidang filsafat khusus yaitu masalah yang dibahas dengan bahasa.
Namun berbeda dengan ilmu bahasa atau linguistik yang membahas mengenai ucapan,
tata bahasa, dan kosa kata, filsafat bahasa lebih berkenaan dengan bagaimana
suatu ungkapan bahasa itu mempunyai arti, sehingga analisa filsafat tidak lagi
dimengerti atau tidak lagi dianggap harus didasarkan pada logika teknis, baik
logika formal maupun matematik, tetapi berfilsafat didasarkan pada penggunaan
bahasa biasa. Bila disimak dan diteliti pernyataan di atas maka dapat
disederhanakan bahwa filsafat bahasa merupakan penyederhanaan konsep filsafat
melalui alat bantu bahasa. Dengan kata lain penjabaran nuansa filsafat melalui
medium bahasa dikenal dengan sebutan filsafat bahasa.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Wicoyo, Kaelan (1998:
576) melalui Lubis(2005),mengutarakan bahwa filsafat bahasa sebagai salah satu
cabang filsafat adalah pemecahan masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat
melalui analisis bahasa, karena bahasa merupakan sarana yang vital
dalamfilsafat misalnya melalui berbagai macam pertanyaan filosofis seperti
‘kebenaran’, ‘keadilan’, ‘kewajiban’, ‘kebaikan’ dan pernyataan-pernyataan
fundamental filosofis lainnya dapat diuraikan dan dianalisis melalui bahasa
atau analisis penggunaan bahasa.
Dari kedua kutipan di atas dapat disederhanakan bahwa filsafat bahasa
merujuk pada pemahaman tentang konsep filsafat melalui analisis bahasa. Dengan
kata lain, kebingungan yang sering ditawarkan dalam berfilsafat dapat
dipermudah melalui analisis bahasa. Atau
melalui medium bahasa kebermaknaan unsur berfilsafat akan lebih jelas dan
mudah dipahami dengan bantuan medium bahasa dalam hal ini adalah analisis
bahasa.
b. Penjelasan lanjutan dan contoh-contoh
Berbahasa sepertinya didapatkan secara alamiah sehingga tidak perlu
mempelajarinya. Padahal pengertian ini hanya bagi kaum awam yang tidak memahami
betapa kompleks dan kayanya khasanah bahasa dalam aktifitas kehidupan manusia
sehari-hari. Sadar atau tidak sadar, bahasa atau ungkapan bahasa seseorang
tetap memilikimakna atau realitas terhadap sesuatu yang dirujuknya. Dalam
percakapan sehari-hari mungkin kita sering mendengar dan tidak menyadari betapa
dalamnya makna yang dikandung ungkapan tersebut. Sebagai contoh ketika si A
menyadari bahwa si B memakai baju baru,maka si A akan menyapa si B dengan
teguran ramah:
A: Kamu baju baru, ya?
B: (menjawab) Ah! Tidak, tetapi tersenyum.
Bila kita perhatikan esensi dari ungkapan di atas maka kita memperoleh
gambaran pemikiran sesuatu yang kontras. Kata ‘tidak’ bukan berartimenidakkan
karena ‘senyum’ merujuk kepada pengakuan bahwa si B memang memakai baju baru.
Realitas ungkapan bahasa di atas dikaitkan pada filsafat bahasa dalam arti akal
budi atau pemikiran dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang kabur atau absurd.
Hal ini bisa jadi berkaitan dengan nilai budaya ketimuran yang terkenal ramah
dan berkesan tertutup. Dengan kata lain, sikap keterus terangan maupun
ketransparanan ditutupi oleh kenaifan yang amat lugu namun memiliki kesan tidak
mempunyai sikap keberanian untuk terbuka.
Masih ada lagi ungkapan bahasa dalam bentuk pepatah yang sangat mengandung
nilai budaya yang tinggi bagi masyarakat Indonesia. Pepatah tersebut sering
dimaksudkan pada kondisi seseorang yang menghadapi pilihan yang teramat berat
untuk membuat sesuatu keputusan. Pepatah tersebut adalah: “Bagaikan makan buah
simalakama. Dimakan mati ibu tidak dimakan mati bapak”. Dari sudut pandang
filsafat, maka makna dari ungkapan bahasa di atas adalah terbenturnya suatu
sikap mengambil kebijakan karena adanya dua pilihan yang beresiko. Dengan kata
lain, tidak ada jalan keluar sebijak apapun kecuali penentuan sikap untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Namun kenyataannya pepatah tersebut dewasa ini sering dipelesetkan dari
esensi makna yang sebenarnya. Dikatakan bila seseorang dari suku Batak dihadapkan
pada masalah tersebut, maka dia akan merasakan buahnya dulu tanpa menelannya.
Artinya, bagi dia makan berbeda dengan mengkulum atau merasakan buah tersebut
di dalam mulut. Berbeda dengan
etnis Cina yang budayanya senang berdagang. Dia akan merasakan buah
tersebut dengan mengulumnya ke dalam mulut dan kemudian menjualnya kepada orang
lain.
Tentu pelesetan seperti di atas tidak lagi identik dengan makna yang
sebenarnya dari ungkapan bahasa tersebut. Dengan demikian peran filsafat bahasa
yang menganalisis konsep filsafat melalui medium bahasa akan mempertegas makna
yang sebenarnya yaitu pilihan yang teramat sulit untuk diputuskan. Pergeseran
interpretasi realitas ungkapan bahasa sering terjadi karena adanya perubahan
tatanan nilai budaya di tengah tengah masyarakat. Sebagai contoh kita bisa
membedakan persepsi generasi tua dengan generasi muda tentang ungkapan bahasa
dalam bentuk pepatah di bawah ini:
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian.
Generasi tua akan menginterpretasikan konteks filsafati ungkapan tersebut
pada masanya yang memang serba sulit dan butuh perjuangan ekstra keras. Dengan
demikian, kaum tua lebih menyederhanakannya dengan keyakinan bahwa hidup harus
dihadapi dengan semangat baja di mana seseorang harus siap menderita untuk
memperoleh keberhasilan. Hal ini memang merupakan realita yang dialami kaum
generasi tua pada masanya untuk meraih keberhasilan hidup. Bagi kaum generasi
muda yang menumpang di keberhasilan orang tuanya akan menginterpretasikan makna
yang berbeda. Kaum muda lebih menghubungkannya dengan situasi sekarang yang
serba cepat untuk memperoleh kemenangan/siapa cepat dia menang. Kaum muda
bahkan memberikan respon yang lebih radikal bahwa setelah sakit yang lebih dekat
adalah kematian bukan kesenangan.
Merujuk pada realitas ungkapan bahasa dalam konteks filsafat bahasa,
ungkapan di atas perlu dicermati pada nuansa kulturalnya. Di dalam ungkapan
tersebut pada bait pertama dan kedua merujuk pada usaha, sementara pada bait
ketiga dan keempat merupakan kemungkinan hasilnya: bisa susah bisa senang. Hal
ini dimungkinkan karena tidak setiap usaha akan membuahkan hasil yang
diidamkan. Interpretasi realitas ungkapan bahasa tidak terlepas dari pemahaman
makna dari tiap unsur bahasa yang diajarkan. Oleh karena itu, analisis bahasa
dalam arti filsafat bahasa membuat penegasan tentang keberadaan makna realitas
dari bahasa itu sendiri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa makna realitas ungkapan bahasa merupakan
prediksi untuk ke depan. Meskipun dampaknya pada saat itu kurang dimengerti,
namun pada waktu ke
depannya, cukup mempunyai makna kultural yang sangat berharga. Misalnya
pepatah bagi suku Batak Toba yang mengatakan:
Beranak empat belas
Berputri tujuh belas
‘Maranak sampuluopat
Marboru sampulupitu’
Pada mulanya pepatah ini lebih ditekankan pada pentingnya kuatitas
manusianya yang mana pada saat itu etnis Batak mempercayai banyak anak akan
memperoleh banyak berkat. Meskipun hal ini sedikit bertentangan dengan
kebijakan pemerintah untuk program Keluarga Berencana.
Namun bila dicermati ungkapan pepatah di atas sangat relevan dengan kondisi
tuntutan bangsa dewasa ini yakni ‘orang tua asuh’. Sadar atau tidak sadar bagi
suku etnis Batak Toba dapat merefleksikan konsep filsafati ungkapan tersebut
sebagai wujud nyata dari makna yang terkandung dalam pernyataan tersebut.
Dengan demikian realitas ungkapan yang tersembunyi dalam ungkapan tersebut
merupakan sesuatu yang unpredictable. Untuk ke depannya dalam arti waktu dulu
danwaktu sekarang untuk memahami konsep pemikiran yang ada dalam pepatah batak
tersebut.
Dari beberapa contoh ungkapan bahasa di atas baik berupa statement atau
pernyataan dan berupa pepatah dapat ditelusuri bahwa filsafat benar-benar
merujuk pada hal-hal yang bijaksana. Dengan kata lain konsep filsafati dalam
ungkapan bahasa selalu mengandung makna hakiki tentang pertanyaan-pertanyaan
yang mengacu pada rasa keadilan manusia dan rasa kepeduliaan untuk mengerti
tentang nilai hakiki dari kehidupan. Realitas ungkapan bahasa dalam konteks
filsafat bahasa tidak lain dan tidak bukan untuk mempertegas dan memperjelas
makna konsep-konsep atau masalah-masalah filsafat melalui analisis bahasa.
Dengan kata lain melalui analisis bahasa kerangka pemikira logis yang sederhana
dan mudah dipahami akan bisa menetralisir nuansa filsafat yang rada kompleks
dan sukar.
Menemukan Kebenaran Lewat Bahasa
Berbicara mengenai kebenaran lewat bahasa, tidak dapat dipungkiri bahwa
bahasa mempunyai peranan penting dalam pencarian kebenaran dalam filsafat.
Menurut Ibrahim (2008), kebenaran lewat bahasa dapat ditelaah dengan
teorikebenaran semantis yang berkaitan dengan bahasa dan tutur kata.
Menurut Septarina(2011), teori kebenaran semantis dianut oleh faham
filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrantd Russel
sebagai tokoh pemula
dari filsafat Analitika Bahasa. Menurut teori kebenaran semantik suatu
proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah
proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai pengacu (referent) yang
jelas Dengan demikian, teori kebenaran semantik menyatakan bahwa proposisi itu
mempunyai arti. Arti ini dengan menunjukkan makna yang sesungguhnyadengan
menunjukkan pada referensi itu atau kenyataan, juga arti yangdikemukakan itu
memiliki arti yang bersifat definitive (arti yang jelas dengan menunjuk ciri
yang khas dari sesuatu yang ada). Dalam teori kebenaran semantic ada beberapa
sikap antara lain.
a. sikap epistemologis skeptik maksudnya ialah suatu sikap kebimbangan
taktisatau sikap keragu-raguan untuk menghilangkan rasa ragu dalam
memperolehpengetahuan. Dengan sikap yang demikian dimaksudkan untuk mencapai
suatu makna yang esoteric yaitu makna yang benar-benar pasti yang dikandung
oleh suatu pernyataan
b. sikap epistemologik ideologik artinya adalah bahwa proposisi itu
memiliki arti namun arti itu bersifat arbitrer (sewenang-wenang) atau kabur,
dan tidak memiliki sifat pasti.Jika mencapai kepastian, maka kepastiannya itu
hanyalah berdasar pada kepercayaan yang ada pada dirinya sendiri
c. sikap epistemologik pragmatikyaitu makna dari suatu pernyataan yang amat
tergantung pada dan berdasarkan pada nilai guna dan nilai praktis dari pemakai
proposisi.Akibat semantisnya adalah kepastian yang terletak pada subjek yang
menggunakan proposisi itu.
Logika Bahasa
Logika bahasa merupakan gagasan yang diawali dengan hal-hal atau fakta yang
bersifat khusus, yang dituangkan dalam beberapa kalimat (berupa kalimat
penjelasan) berdasarkan penjelasan itu berakhir pada kesimpulan umum. Menurut
Anur(2009)Logika Bahasa terdiri dari 2 bagian penting : penalaran induktif dan
penalaran deduktif.
1. Penalaran induktif
Penlaran induktif adalah proses penalaran untuk manari kesimpulan berupa
prinsip atau sikap yang berlaku umum berdasarkan fakta –fakta yang bersifat
khusus, prosesnya disebut Induksi. Penalaran induktif tekait dengan empirisme.
Secara impirisme, ilmu memisahkan antara semua pengetahuan yang sesuai fakta
dan yang tidak. Sebelum teruji secara empiris, semua penjelasan yang diajukan
hanyalah bersifat sentara. Penalaran induktif ini berpangkal pada empiris untuk
menyusun suatu penjelasan umum, teori atau kaedah yang berlaku umum.
Contoh :
Harimau berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan. Babi berdaun
telinga berkembang biak dengan melahirkan. Ikan paus berdaun telinga berkembang
biak dengan melahirkan.
Kesimpulan : semua hewan yang berdaun telinga berkembang biak dengan
melahirkan.
2. Penalaran Deduktif
Penalaran Deduktif adalah proses penalaran untuk manarik kesimpulan berupa
prinsip atau sikap yang berlaku khusus berdasarkan atas fakta-fakta yang
bersifat umum. Proses penalaran ini disebut Deduksi. Kesimpulan deduktif
dibentuk dengan cara deduksi. Yakni dimulai dari hal-hal umum, menuku kepada
hal-hal yang khusus atau hal-hal yang lebih rendah proses pembentukan
kesimpulan deduktif terebut dapat dimulai dai suatu dalil atau hukum menuju
kepada hal-hal yang kongkrit.
Macam-macam penalaran deduktif diantaranya :
a. Silogisme
Silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif.
Silogisme disusun dari dua proposi (pernyataan) dan sebuah konklusi
(kesimpulan). Dengan fakta lain bahwa silogisme adalah rangkaian 2 pendapat dan
1 kesimpulan.
Contoh :
Semua manusia mempunyai akal
Ali adalah manusia
Jadi, Ali mempunyai akal
b. Entimen
Entimen adalah penalaran deduksi secara langsung. Dan dapat dikatakan pula
silogisme premisnya dihilangkan atau tidak diucapkan karena sudah sama-sama
diketahui.
Contoh :
Proses fotosintesis memerlukan sinar matahari Pada malam hari tidak ada
matahari Pada malam hari tidak mungkin ada proses fotosintesis
Imajinasi dan Bahasa
Dalam perspektif awam, imajinasi masih sering diposisikan dalam arti
peyoratifnya. Imajinasi dianggap serupa dengan ilusi, khayalan, dan fantasi.
Salah persepsi ini berakibat pada masih kurang dipertimbangkannya imajinasi
sebagai sumber pengetahuan yang sahih. Mengganggap imajinasi sejenis dengan
khayalan, fantasi, atau ilusi, merupakan sikap yang gegabah. Istilah fantasi itu sendiri lebih berkaitan dengan daya
membayangkan sesuatu hal yang tidak real atau yang tidak mungkin terjadi.
Dengan demikian, fantasi sepadan dengan khayalan atau ilusi, terjemahan dari
bahasa Inggris, illusion. Secaraterminologis, ilusi berarti ide,
keyakinan, atau kesan tentang sesuatu yang jelas-jelas keliru. Jika fantasi
(daya yang menghasilkan khayalan) berhubungan dengan gambaran objek yang tidak
mungkin dan memang tidak ada dalam kenyataan, maka imajinasi merupakan daya
yang menghasilkan gambaran objek yang bersifat mungkin atau logis. Imajinasi
tidak terkait dengan penggambaran yang membabi buta tentang suatu objek atau
konsep tertentu (Afif, 2009).
Dalam bahasa inggris, ada beberapa variasi kata untuk imajinasi, yaitu imagery,
imaginary, danimagine. Imagerymerupakan bahasa figuratif untuk
merujuk sebuah gambaran, objek, ide, dalam pikiran seseorang (pembaca atau
pendengar), sehingga istilah ini sering digunakan oleh para penyair dalam
karya-karyanya. Imagerysering diartikan sebagai perumpamaan/tamsil,
meskipun ia memiliki arti yang lebih luas dari sekedar perumpamaan.
Selanjutnya, imaginarydalam bahasa Indonesia sering diartikan sebagai
yang imajiner atau khayal; contohnya bilangan imajiner sebagai bilangan khayal.
Sementara kataimagine(kata kerja) berarti membentuk suatugambaran mental
tentang sesuatu, atau memikirkan sesuatu sebagai bisa terjadi atau mungkin. Imagineadalah
tindakan membayangkan, meskipun pada prakteknya terdapat perbedaan antara
“membayangkan” dan “mengimajinasikan”. “Membayangkan” mempunyai konotasi
sebagai sesuatu yang lebih mudah dilakukan karena berhubungan dengan sesuatu
yang menyenangkan. Sedangkan “mengimajinasikan” itu merambah wilayah yang lebih
luas sehingga tidak dapat direduksi sebagai sekedar membayangkan. Maka dari
itu, imajinasi lebih tepat diartikan sebagai kekuatan potensial yang telah
memberikan kontribusi berharga bagi lahirnya pengetahuan.
Perlu diketahui perbedaan antara berimajinasi dan berpikir (logis). Menurut
Afif (2012) berpikir merupakan aktivitas mental untuk melahirkan atau memformulasikan
pengetahuan dengan merujuk pada aturan berpikir atau konsep tertentu yang
cenderung bersifat membatasi, bahkan mengikat. Misalnya anjuran berpikir lurus
menurut logika identitas Aristotelian –di mana cara berpikir yang tidak
mematuhi hukum logika tersebut dapat terjatuh dalam “sesat pikir” (the
fallacy).Sementara dalam berimajinasi proses mental kita tidak lagi diikat
oleh hukum berpikir atau konsep kebenaran tertentu, sehingga pikiran menjadi
bebas untuk mencari wawasan pengetahuan baru. Disadari atau tidak, peran
imajinasi begitu besar dalam melahirkan teori-teori besar di bidang ilmu
pengetahuan. Ketika para ilmuwan sudah kehabisan ide untuk memecahkan suatu
permasalahan—karena logika telah menunjukkan keterbatasan-keterbatasannya,
terkadang imajinasi bebas mereka justru
yang mempunyai peranan besar dalam pemecahan problem-problem keilmuan.
Bahkan ilmuwan sekaliber Einstein mengatakan, ”Imajinasi lebih penting daripada
pengetahuan. Logika akan membawa Anda dari A ke B, sedangkan Imajinasi akan membawa
anda kemana-mana”.Peran imajinasi dalam proses penelusuran pengetahuan membawa
banyak hal yang sering tak terduga. Meski berimajinasi tidak dibatasi oleh
hukum berpikir dan konsep tertentu, namun proses mental tetap terarah pada
citra atau imaji-imaji tertentu sebagai representasi dari persoalan yang sedang
dibayangkan. Ketika Einstein menemukan rumus E=mc2, dia tentu meng-imaji-kan
variabel-variabel itu dalam pikirannya. Ketika Newton tiba-tiba menyadari teori
gravitasinya karena melihat buah apel jatuh ke tanah, dia juga men-citra-kan
sesuatu dalam benaknya. Dengan demikian, mengimajinasikan “imaji” merupakan
proses yang melahirkan kedua teori tersebut.
Tentang kemampun melahirkan konsep dari imaji-imaji, ada sebuah konsep
menarik yang diperkenalkan Sartre (melalui Afif, 2009) dalam bukunya L’imaginaire:
Psychologie phenomenogique de l’imagination(1940), yaitu tentang “imajinasi
kreatif”. Imajinasi kreatif ini terkait dengan kemampuan pikiran seseorang
untuk merasakan apa yang disebut Kant “pengalaman estetik”. Ketika seseorang
mampu menangkap makna dan menemukan seepisode cerita dalam sebuah lukisan, atau
merasakan emosi dalam selantun lagu yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain,
maka orang itu memiliki imajinasi kreatif. Dengan kata laintidaklah disebut
imajinatif jika melihat makna dan cerita dalam sebuah lukisan yang juga bisa
dilihat orang lain. Imajinasi kreatif ini disebut Sartre sebagai “tindakan
menciptakan sebuah objek dalam ketiadaannya”.
Hans George Gadamer(melalui Afif, 2009), dalam Philosophical
Hermeneutics (1977) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang
tumbuh dalam ruang sosial dan masa historis tertentu. Citra tentang manusia dan
lingkungannya selalu dibentuk dan direkayasa dalam lembaran sejarah. Sehingga,
tidaklah berlebihan jika Simone Weil (melalui Afif, 2009) menganggap bahwa
imajinasi dan fiksi telah membentuk lebih dari tiga perempat kehidupan nyata
manusia. Pernyataan di atas hendak menegaskan bahwa pengetahuan yang kita
peroleh sebenarnya lahir dari imaji-imaji tentang segala hal yang telah kita
cecap, entah ia merujuk pada objek yang real ataupun yang imajiner. Imaji-imaji
yang memenuhi ruang mental kita itu menjadi semacam penyedia bahan baku bagi
kegiatan merumuskan pengetahuan. Dalam konteks ini, antara imajinasi dan rasio
sebenarnya saling mendukung. Sebagai salah satu potensi intelek, imajinasi
berfungsi sebagai pemecah kebuntuan ketika rasio tidak lagi mampu menyelesaikan
persoalan pengetahuan yang membekap kita. Dengan dayanya, imajinasi mampu
membuat tautologi-tautologi baru atas imaji-imaji yang memenuhi
benak kita yang tidak dapat dikerjakan oleh rasio. Ketika pola-pola
tautologi itu telah eksis dalam pikiran kita, rasio kemudian memerankan dirinya
kembali, yaitu sebagai evaluator dan perumus bagi tautologi-tautologi itu agar
polanya semakin matang dan presisi. Imajinasi membuat dunia hadir dalam banyak
kemungkinan, dan rasio membuat kemungkinan-kemungkinan itu menjadi pengetahuan
yang masuk akal.
Imajinasi juga memampukan kita menghayati dunia dan kenyataan sebagai momen
puitis (ingat imajinasi kreatifnya Sartre). Jika di ranah saintifik antara
imajinasi dan rasio masih bisa didamaikan, maka di ranah estetis keduanya
cenderung saling menegasikan. Sebagai modus representasi dunia dan kenyataan,
imajinasi adalah sumber bagi bahasa konotatif-puitis, sementara rasio adalah
sumber bagi bahasa denotatif-logis. Kedua modus representasi ini akan
melahirkan corak dunia yang sangat berbeda. Jika kita hanya mengandalkan bahasa
denotatif-logis sebagai basis representasi, maka dunia akan mewujud sebagai
objek formulatif semata. Di ranah estetis, dengan mengacu Heidegger, bahasa
konotatif-puitis sebenarnya lebih berpotensi memunculkan “ketidaktersembunyian”
(aletheia)karena lebih membuka pengalaman, bukan menciutkannya. Oleh
karena bahasa puisi hendak meng-imaji-kan sesuatu, maka hanya imajinasilah yang
mampu memberikan konteks imajinatif pada pikiran kita.
Bahasa dan Pemikiran
Lazimnya, selain logika dan matematika, epistemologi juga memandang bahasa sebagai piranti sangat penting untuk menghasilkan pengetahuan yang sahih. Dengan ungkapan lebih sederhana, bahasa merupakan salah satu sarana berpikir ilmiah, sekaligus juga sarana untuk menyampaikan hasil pemikiran ilmiah. Karena itu, penting sekali bagi siapa pun yang akan memasuki dunia pengetahuan secara umum untuk memahami hubungan antara bahasa dengan kegiatan berpikir. Memang tidak banyak filsuf atau ilmuwan yang menaruh perhatian cukup besar terhadap hubungan antara bahasa dan pemikiran, apalagi dikaitkan dengan peradaban. Dari jumlah yang sedikit tersebut, bisa disebut antara lain Thomas Hobbes, Ludwig Wittgenstein, Ernest Cassirer, dan Michael Polanyi (Rahardjo, 2010).
Mana yang lebih dulu dan lebih penting antara bahasa dan pemikiran? Bisakah
tumbuh bahasa tanpa pemikiran? Mungkinkah pemikiran berlangsung tanpa bahasa?
Barangkali itu merupakan sejumlah pertanyaan yang begitu menggoda untuk
ditelaah terus-menerus.
Thomas Hobbes, (melalui Rahardjo, 2010), seorang filsuf terkemuka
berkebangsaan Inggris, mempertanyakan ‖apa yang memungkinkan pengetahuan
manusia terus-menerus berkembang?‖ Perenungannya sampai pada simpulan bahwa
keistimewaan manusia terletak pada kemampuannya menandai secara simbolik setiap
kenyataan. Secara filosofis, sebutan manusia sebagai makhluk pengguna simbol
memiliki cakupan lebih luas dibanding sebutan manusia sebagai makhluk berpikir
(homo sapiens), karena hanya bila menggunakan bahasa maka manusia bisa
berpikir dengan runtut, teratur, canggih, dan abstrak. Lebih lanjut, semua
prestasi kolektif manusia, seperti khasanah pengetahuan keilmuan, kemajuan
peradaban, serta budaya, hampir pasti tidak bisa diwujudkan tanpa peran bahasa
sebagai prasyarat utama.
Sebegitu jauh, bahasa telah memberikan sumbangan paling pentingnya bagi
umat manusia. Namun demikian, sebagaimana diuraikan oleh Michael Polanyi
(melalui Rahardjo, 2010), seorang filsuf berkebangsaan Hongaria, terdapat
paradoks hubungan antara bahasa dan pengetahuan. Di satu sisi, bahasa
memungkinkan manusia untuk berbagi, mewariskan, dan mengembangkan hasil buah
pemikiran, yang di antaranya adalah pengetahuan. Di sisi lain, karena sifat
dasar yang juga tak terelakkan, ternyata bahasa juga cenderung menyederhanakan
kenyataan yang seharusnya bisa dipaparkan, dijelaskan, dan bahkan diramalkan
secara apa adanya oleh ilmu.
Simbol dan Bahasa
Eaerns Cassirer, seorang sarjana dan seorang filosof mengatakan bahwa manusia adalah mahluk bersimbol (animal symbolicum). Hampir tidak ada kegiatan yang tidak terlepas dari simbol atau lambang. Termasuk alat komunikasi verbal yang disebut bahasa. Satuan-satuan bahasa misalnya kata adalah simbol atau lambang (Chaer, 2007:39, melalui Azhar & Negara, 2012). Kalau ide atau konsep untuk menyatakan kematian adalah bendera hitam (dalam bentuk tanda), dan ide atau konsep ketuhanan dilambangkan dengan gambar bintang (dalam bentuk gambar), maka lambang-lambang bahasa diwujudkan dalam bentuk bunyi, yang berupa satuan-satuan bahasa, seperti kata atau gabungan kata yang sifatnya arbriter. Dalam bahasa Indonesia, binatang berkaki empat yang bisa dikendarai dilambangkan dengan bunyi [kuda], dalam bahasa Inggris berupa bunyi yang ditulis horse dan dalam bahasa Belanda berupa bunyi yang ditulis paard.
Dalam penerapannya, filsafat dapat dengan lebih luas diterapkan dengan memakai
“tanda-tanda” atau “simbol-simbol” yang verbal dari pada yang non-verbal. Dalam
kajian tanda atau semiotika, bahasa adalah tanda verbal paling fundamental yang
digunakan manusia dalam menyampaikan suatu informasi atau pengetahuan (Budiman,
1999: 109,
melalui Azhar & Negara, 2012). Sebagai gambaran, kita masih dapat
mengungkapkan informasi tentang matahari terbit (the sun rises) dengan
simbol non-verbal (bukan bahasa), yaitu dengan ekspresi visual yang
terdiri dari garis horizontal, setengah lingkaran garis-garis pendek yang
memancar dari tengah imajiner setengah lingkaran tersebut. Namun akan lebih
sulit untuk mengungkapkan informasi tentang matahari jugaterbit (the
sun also rises) dengan menggunakan tanda visual itu (Eco, 2009: 259,
melalui Azhar & Negara, 2012). Dan hampir tidak mungkin dengan sarana
visual mengungkapkan informasi tentang: Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir adalah
penulis buku Filsafat Ilmu.
Karena itu, suatu sistem filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat
dipandang sebagai suatu bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat dipandang
sebagai suatu upaya menyusun bahasa tersebut, sehingga filsafat dan bahasa akan
selalu beriringan, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Sebab bahasa
pada hakikatnya merupakan sistem simbol-simbol, sedangkan tugas filsafat yang
utama adalah mencari jawab atau makna dari seluruh simbol yang menampakkan diri
di alam semesta ini, dan bahasa juga untuk membongkar seluruh rahasia
simbol-simbol tersebut (Hidayat, 2006: 31, melalui Azhar & Negara, 2012).
Kesimpulan
Filsafat bahasa sebagai salah satu cabang filsafat adalah pemecahan masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat melalui analisis bahasa, karena bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat misalnya melalui berbagai macam pertanyaan filosofis seperti ‘kebenaran’, ‘keadilan’, ‘kewajiban’, ‘kebaikan’ dan pernyataan-pernyataan fundamental filosofis lainnya dapat diuraikan dan dianalisis melalui bahasa atau analisis penggunaan bahasa.
Teori kebenaran semantis dianut oleh faham filsafat analitika bahasa yang
dikembangkan paska filsafat Bertrantd Russel sebagai tokoh pemula dari filsafat
Analitika Bahasa. Menurut teori kebenaran semantik suatu proposisi memiliki
nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah proposisi yang merupakan
pangkal tumpunya itu mempunyai pengacu (referent) yang jelas Dengan demikian,
teori kebenaran semantik menyatakan bahwa proposisi itu mempunyai arti. Arti
ini dengan menunjukkan makna yang sesungguhnyadengan menunjukkan pada referensi
itu atau kenyataan, juga artiyangdikemukakan itu memiliki arti yang bersifat
definitif.
Logika bahasa merupakan gagasan yang diawali dengan hal-hal atau fakta
yang bersifat khusus, yang dituangkan dalam beberapa kalimat (berupa kalimat
penjelasan) berdasarkan penjelasan itu berakhir pada kesimpulan umum yang dinyatakan
dengan kalimat topik. Logika Bahasa terdiri dari 2 bagian penting : penalaran
induktif dan penalaran deduktif.
Sebagai modus representasi dunia dan kenyataan, imajinasi adalah sumber
bagi bahasa konotatif-puitis, sementara rasio adalah sumber bagi bahasa
denotatif-logis. Kedua modus representasi ini akan melahirkan corak dunia yang
sangat berbeda. Jika kita hanya mengandalkan bahasa denotatif-logis sebagai
basis representasi, maka dunia akan mewujud sebagai objek formulatif semata.
Lazimnya, selain logika dan matematika, epistemologi juga memandang
bahasa sebagai piranti sangat penting untuk menghasilkan pengetahuan yang
sahih. Dengan ungkapan lebih sederhana, bahasa merupakan salah satu sarana
berpikir ilmiah, sekaligus juga sarana untuk menyampaikan hasil pemikiran
ilmiah.
Suatu sistem filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat dipandang
sebagai suatu bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat dipandang sebagai suatu
upaya menyusun bahasa tersebut, sehingga filsafat dan bahasa akan selalu
beriringan, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Sebab bahasa pada
hakikatnya merupakan sistem simbol-simbol, sedangkan tugas filsafat yang utama
adalah mencari jawab atau makna dari seluruh simbol yang menampakkan diri di
alam semesta ini, dan bahasa juga untuk membongkar seluruh rahasia
simbol-simbol tersebut.
Afif, Afthonul. 2009. Imajinasi dan Pengetahuan.
http://psikotikafif.wordpress.com/2009/09/14/imajinasi-dan-pengetahuan/diunduh
tanggal 2-11-2012
Anur, Muhsy. 2009. Logika Bahasa. http://readone82.blogdetik.com/2009/08/26/logikabahasa/diunduhtanggal
3-11-2012.
Azhar, Iqbal Nurul & Negara, Ananda Surya.
2012. Peranan filsafat dalam mengembangkan linguistik.http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/artikel-bahasa/peranan-filsafat-dalam-mengembangkan-linguistik/diunduh
tanggal 31-10-2012.
Asmara, Henry. 2009. Filsafat Ilmu Bahasa. http://azmara-azmara.blogspot.com/2009/01/filsafat-ilmu-bahasa.htmldiunduh
tanggal 31-10-2012.
Endraswara, Suwardi. 2012. Filsafat Ilmu:
Konsep, Sejarah, dan Pengembangan Metode Ilmiah.Yogyakarta: CAPS
Ibrahim, Slamet. 2008. Filsafat Ilmu
Pengetahuan. http://telekomunikasi.itb.ac.id/~angga/ebook/filsafat%20ilmu/bahan%20UTS/FILSAFATdiunduh
tanggal 3-11-2012.
Lubis, S.M.2005.RealitasUngkapanBahasaDalamKonteks
FilsafatBahasa: Sebuah Tafsiran.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17578/1/eng-nov2005-1%20%286%29.pdfdiunduh
tanggal 1-11-2012.
Muhadjir, Noeng. 2006. Filsafat
Ilmu: Kualitatif dan Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, Edisi
3. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mustansyir, Rizal. 2007. Filsafat
Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan para tokohnya.Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Rahardjo, Mudjia. 2010. Bahasa,
Pemikiran, dan Peradaban: telaah filsafat pengetahuan dan sosiolinguistik.
http://mudjiarahardjo.com/artikel/130-bahasa-pemikiran-dan-peradaban-telaah-filsafat-pengetahuan-dan-sosiolinguistik.html
diunduh tanggal 3-11-2012.
Septarina, Nita. 2009.17 Teori
Kebenaran.http://www.scribd.com/doc/48466003/17-Teori-kebenarandiunduh
tanggal 3-11-2012.