Feisal Aziez (Oktober 2012)
Psikolinguistik
PENDAHULUAN
An infant
crying in the night:
An infant
crying for the light:
And with no
language but a cry.
(Alfred Lord Tennyson, ‘In memoriam H.H.S.’)
Istilah infant berasal
dari kata latin yang berarti tanpa bicara (without
speech). Dapat dikatakan pula bahwa seorang bayi belum mampu mengucapkan
kata-kata atau ungkapan yang berarti atau bermakna dan dipahami oleh orang
lain.
Seorang anak tidak akan terbangun di suatu pagi dengan
kemampuan komunikasi yang penuh dan berterima secara sosial atau gramatika.
Pengetahuan linguistik ini berkembang secara bertahap, dan dalam setiap
tahapannya, kemampuan mereka semakin mendekati kemampuan berbahasa orang
dewasa. Observasi yang dilakukan terhadap anak-anak dalam komunitas bahasa yang
berbeda di seluruh dunia menunjukkan bahwa tahap-tahap ini serupa, dan ada
kemungkinan bersifat menyeluruh (universal).
Beberapa tahapan hanya berlangsung dalam jangka waktu yang pendek; beberapa
yang lain membutuhkan waktu yang lebih lama.
Setiap aspek dari suatu bahasa merupakan suatu hal yang
sangat kompleks; walaupun begitu, anak-anak—sebelum usia lima tahun—sudah mampu
mempelajari system gramatika suatu bahasa. Sebelum mereka mampu menjumlahkan 2
+ 2, anak sudah mampu menggabungkan kalimat, membuat pertanyaan, menggunakan
kata ganti, kalimat negatif, dan menggunakan aturan sintaksis, fonologi,
morfologi, dan semantik dari bahasa pertama mereka. Hal ini sering membuat iri
orang dewasa yang mempelajari bahasa kedua atau ketiga mereka karena begitu
cepatnya seorang anak mampu belajar bahasa pertamanya.
Makalah ini akan membahas perkembangan pemerolehan bahasa
pada anak-anak; tahapan-tahapan dan proses pemerolehan bahasa mereka dilihat
dari berbagai aspek. Luasnya area yang berkenaan dengan pemerolehan bahasa
anak, maka makalah ini merupakan sebuah ringkasan saja dari berbagai sumber
mengenai perkembangan pemerolehan bahasa pada anak.
PEMBAHASAN
2.1 Tahap Perkembangan Awal
Kemampuan Berbahasa
(Pre-Speech Stages)
2.1.1 Tahap Vokalisasi ke Mengoceh (Babbling)
Perkembangan bahasa sebelum bayi dapat berbicara secara
aktif disebut perkembangan pra-wicara (pre-speech
development) biasanya ditandai oleh vokalisasi awal pada bayi. Vokalisasi
awal ini ditunjukkan bayi dengan menangis (crying),
mendekut (cooing), mendeguk (gurgling), menjerit, dan tertawa. Bayi
di seluruh dunia cenderung membuat suara-suara yang serupa pada tahap awal
perkembangannya, bahkan pada bayi-bayi yang terlahir tuli (Lenneberg, Rebelsky,
& Nichols, 1965 dalam Steinberg, Nagata, & Aline, 2001). Ketika bayi
memasuki usia sekitar 6 bulan kemampuan-kemampuan ini akan mulai menghilang.
Kemudian, pada usia sekitar 7 bulan anak pada umumnya akan mulai mengoceh,
memproduksi suara-suara yang biasa digambarkan sebagai suku kata (syllable) yang diulang, contohnya, ba-ba-ba,
ma-ma-ma, atau pa-pa-pa.
Pada saat usia bayi memasuki usia sekitar 6-7 bulan,
ocehan mereka mulai menunjukkan perbedaan antara satu komunitas bahasa dengan
komunitas bahasa yang lain dengan menggunakan intonasi-intonasi pada yang
digunakan dalam komunitas bahasa dimana mereka berada. Ocehan yang menggunakan
pola intonasi bahasa pertama ini jelas merupakan hasil belajar anak dari apa
yang mereka dengan dari lingkungan bahasa mereka. Inilah yang tidak bisa
didapatkan oleh bayi-bayi yang terlahir tuli. Bayi-bayi tersebut mengalami
tahapan vokalisasi awal, akan tetapi tidak berkembang ke tahap mengoceh.
2.1.2 Tahap Mengoceh ke Berbicara
Dalam tahap akhir mengoceh anak-anak mulai mengucapkan
kata-kata pertama mereka. Umumnya, hal ini terjadi pada usia sekitar satu tahun
akan tetapi dapat terjadi sebelum atau setelah satu tahun. Ketika anak mulai
untuk mengucapkan kata-kata awal mereka, terlihat bahwa hanya sebagian kecil
saja bunyi yang mereka biasa ucapkan dalam tahap ocehan muncul dalam ujaran
mereka. Suara-suara lainnya harus diperoleh kembali. Ada kecenderungan
kemampuan membuat bunyi-bunyi yang mereka dapatkan dalam tahap mengoceh hilang
dan harus dipelajari kembali. Sebagai contoh, suara seperti /k/, /g/, dan /x/
(seperti dalam Bach) yang biasanya
muncul dalam tahap vokalisasi dan mengoceh cenderung akan muncul kembali
setelah mereka menguasai suara seperti /p/, /t/, /m/, /a/, dan /o/ (Steinberg,
Nagata, & Aline, 2001). Maka dari itu tampak ada ketidakberlanjutan antara
mengoceh dan ujaran yang bermakna dimana suara-suara yang didapat dalam tahap
mengoceh tidak selalu langsung disadari ketika mereka mulai mengucapkan ujaran
yang bermakna.
Alasan dibalik ketidak-berlanjutan ini menurut Jesperson
(1993 dalam Steinberg, Nagata, & Aline, 2001) adalah karena vokalisasi yang
disengaja (intentional) dan
tidak-disengaja (non-intentional). Mengoceh
merupakan vokalisasi non-intentional dalam
artian ada bunyi-bunyi tertentu yang dihasilkan tanpa adanya kontrol kognitif
pusat. Hal ini terjadi karena belum sempurnanya kontrol kognitif terhadap alat
berbicaranya (sistem pernafasan, faring, lidah, rongga mulut). Ini juga terjadi
pada anggota tubuh lain seperti tangan dan kaki mereka.
Dalam tahap ujaran yang bermakna, bunyi tidak dapat
diucapkan secara acak (random) akan
tetapi harus sesuai dengan bunyi yang telah mereka dengar sebelumnya yang
secara konvensional dihubungkan dengan objek-objek tertentu, kebutuhan, dan
lain sebagainya. Untuk memenuhi syarat diatas, anak perlu menemukan bagaimana
suara tertentu diproduksi oleh alat berbicara mereka. Walaupun tahap mengoceh
dan berbicara berbeda dalam hal kesengajaan, bagaimanapun, tahap berbicara anak
sedikit banyaknya tergantung pada tahap mengoceh. Dalam tahap mengoceh, anak
dapat melatih alat bicaranya yang akan membantunya ketika kontrol kognitif
diperlukan untuk menggerakkan alat bicaranya untuk memproduksi ujaran yang
bermakna.
2.1.3 Urutan Pemerolehan Bunyi Konsonan dan Vokal
(Vowels)
Dalam fase ujaran yang bermakna, Jakobson (1968 dalam
Steinberg, Nagata, & Aline, 2001) menyatakan teori bahwa bunyi konsonan
diperoleh dengan urutan depan-ke-belakang (front-to-back),
dimana ‘depan’ dan ‘belakang’ mengacu pada sumber artikulasi dimana bunyi
tersebut dihasilkan. Sebagai contoh, bunyi /m/, /p/, /b/, /t/, dan /d/
cenderung muncul pada anak sebelum bunyi /k/, /g/, dan /x/. Sebaliknya, bunyi
vokal (vowels) tampaknya diperoleh dengan urutan belakang-ke-depan
(back-to-front), dengan contoh /a/ (ball)
dan /o/ (low) muncul sebelum /i/ (meet) dan /^/ (mud). Walaupun begitu, ada lebih banyak variasi dalam urutan
pemerolehan ini daripada yang diprediksi oleh teori. Hal ini didukung oleh
beberapa penelitian (Velten, 1943; Leopold, 1947; Braine, 1971; Ferguson &
Garnica, 1975 dalam Steinberg, Nagata, & Aline, 2001). Penyebab adanya variasi ini berkenaan dengan
adanya lingkungan yang berbeda dimana seorang anak mempelajari alat bicara mana
yang tepat untuk mengeluarkan bunyi tertentu.
2.1.4 Penamaan (Naming), Holofrastik, Telegrafik, dan
Morfemik
2.1.4.1
Penamaan (Naming): Tahap Satu Kata
Kapankah anak mengucapkan kata pertamanya? Penelitian
yang dilakukan berdasarkan pertanyaan ini biasanya tidak bersifat konklusif.
Hal ini disebabkan karena luasnya perbedaan individu yang ada dan juga karena
tidak adanya standardisasi bagaimana seorang anak dikatakan telah mengucapkan
kata pertamanya.
Ketika seorang anak mengucapkan ‘mama’, ucapan itu
mungkin berarti atau tidak berarti menggambarkan pengetahuan kosakatanya.
Steinberg, Nagata, & Aline (2001) menyatakan bahwa seorang anak bisa
dikatakan telah menguasai kata pertamanya ketika (1) mereka dapat mengucapkan
bentuk ucapan yang telah diketahui secara luas dan (2) ucapan itu berhubungan
dengan suatu objek atau kejadian di lingkungannya. Bentuk kata tersebut mungkin
tidak sempurna, contohnya, ‘pah’ untuk ‘papah’, dan makna yang dia maksudkan
mungkin tidak sesuai, misalnya, semua orang dia panggil ‘da’, akan tetapi
selama anak mampu menggunakan bentuk ucapan tersebut dengan acuan tertentu, dia
dianggap telah memperoleh sedikit pengetahuan kata (word knowledge).
Kata pertama telah dilaporkan muncul dalam rentang usia
antara 4 hingga 18 bulan, atau bahkan lebih tua dengan rata-rata muncul dalam
usia 10 bulan. Perbedaan ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan fisik,
seperti fungsi otot-otot sekitar mulut yang sangat berpengaruh untuk
menghasulkan bunyi yang tepat. Selain itu, perkembangan otak juga sangat
penting karena bahasa dihasilkan dari proses yang terjadi di daerah cerebral cortex (Bates, Thal & Janowsky,
1992 dalam Steinberg, Nagata, & Aline, 2001).
2.1.4.2 Tahap Holofrastik (Tahap
Satu Kata)
Bagaimanapun, seorang anak tidak akan menggunakan satu
kata untuk mengacu pada sebuah objek; mereka juga menggunakan kata tersebut
untuk mengungkapkan pemikiran yang kompleks. Holofrastik berasal dari kata ‘holo’
yang berarti keseluruhan dan ‘phras’
yang berarti frase atau kalimat. Ucapan-ucapan satu kata pada periode ini
disebut holofrastik karena anak-anak menyatakan makna keseluruhan frase
atau kalimat dalam satu kata yang diucapkannya itu. Contohnya: kata “asi “
(maksudnya nasi) dapat berarti dia ingin makan nasi, dia sudah makan nasi, nasi
ini tidak enak, atau apakah ibu mau makan nasi? dsb. Agar kita dapat memahami
maksud yang sesungguhnya, kita harus mencermati keadaan anak dan lingkungan
pada saat ucapan satu kata itu diucapkan. Orang dewasa harus faham bahwa pada
tahap holofrastik ini, ingatan dan alat ucap anak belum cukup matang untuk
mengucapkan satu kalimat yang terdiri dari dua kata atau lebih.
Tahap holofrastik
ini dialami oleh anak normal yang berusia sekitar 1-2 tahun. Waktu berakhirnya
tahap ini tidak sama pada setiap anak. Ada anak yang lebih cepat mengakhirinya,
tetapi ada pula yang sampai umur anak 3 tahun. Pada tahap ini gerakan fisik
seperti menyentuh, menunjuk, mengangkat benda dikombinasikan dengan satu kata.
Seperti halnya gerak isyarat, kata pertama yang dipergunakan bertujuan untuk
memberi komentar terhadap objek atau kejadian di dalam lingkungannya. Satu kata
itu dapat berupa, perintah, pemberitahuan, penolakan, pertanyaan, dan
lain-lain. Di samping itu menurut Clark (1977
dalam Hartati, 2011) anak berumur 1
tahun menggunakan bahasa isyarat dengan lebih komunikatif. Fungsi gerak isyarat
dan kata manfaatnya bagi anak itu sebanding. Dengan kata lain, kata dan gerak
itu sama pentingnya bagi anak pada tahap holofrastik ini.
2.1.4.3 Tahap Telegraphic (Tahap Dua dan Tiga Kata)
Seperti telah
dijelaskan di atas, seorang anak sebelumnya telah
mengetahui ungkapan-ungkapan yang terekam dalam otaknya. Jadi pemahaman tertanam
lebih dahulu daripada produksi bahasa. Tahap
telegrafik ini biasanya muncul
mulai menjelang usia dua tahun. Anak-anak memasuki tahap ini dengan pertama sekali
mengucapkan dua holofrase dalam rangkaian yang cepat (Tarigan, 1980
dalam Hartati, 2011). Misal: mama bobo, adik mimi, papa pigi (ayah pergi), baju kakak dsb. Ucapan-ucapan
ini pun, mula-mula tidak jelas seperti ”di“ (maksudnya adik), kemudian anak
berhenti sejenak, lalu melanjutkan “mimi” maksudnya minum. Maka berikutnya muncul kalimat, “adik
mimi”.
Perlu Anda ketahui
bahwa keterampilan anak pada akhir tahap ini makin luar biasa.
Komunikasi yang ingin ia sampaikan umumnya
adalah bertanya dan meminta. Kata-kata yang
digunakan untuk itu sama seperti perkembangan awal yaitu: sini, sana, lihat,
itu, ini, lagi, mau dan minta.
Selain keterampilan
mengucapkan dua kata, ternyata pada periode ini si anak terampil melontarkan
kombinasi antara informasi lama dan baru. Pada periode ini tampak sekali
kreativitas anak. Keterampilan tersebut muncul pada anak dikarenakan makin
bertambahnya pembendaharaan kata yang diperoleh dari lingkungannya dan juga
karena perkembangan kognitif serta fungsi alat
ucap pada anak.
2.1.4.4
Tahap Morfemik
Tahap ini dimulai
sekitar usia anak 2,6 tahun, tetapi ada juga sebagian anak
yang memasuki tahap ini ketika memasuki usia 2 tahun,
bahkan ada juga anak yang lambat
yaitu ketika anak memasuki usia 3 tahun. Pada umumnya pada tahap ini, anak-anak
telah mulai menggunakan elemen-elemen tata bahasa yang
lebih rumit, seperti: pola kalimat sederhana, kata-kata tugas (di, ke, dari,
ini, itu dsb.), penjamakan, pengimbuhan, terutama awalan dan akhiran yang mudah dan bentuknya sederhana
(Hartati, 2011). Meskipun demikian, kalimat-kalimat yang dihasilkan
anak masih seperti bentuk
telegram atau dalam bahasa Inggrisnya “telegraphic utterances”
(ucapan telegram) contoh: “ini adi nani, kan ?” (adi maksudnya adik),
”mama pigi ke pasar”, “nani mau mandi dulu”, dsb.
Perkembangan anak
pada tahap ini makin luar biasa. Marat (1983
dalam Hartati, 2011) menyebutkan
perkembangan ini dengan kalimat lebih dari dua kata dan
periode diferensiasi. Tahap ini pada
umunya dialami oleh anak berusia sekitar 2 ½ tahun-5 tahun. Sebenarnya
perkembangan bahasa anak pada tahap ini bervariasi. Hal
ini bergantung pada perkembangan
pada tahap sebelumnya yang dialami oleh
si anak. Umumnya pada tahap
ini anak sudah mulai dapat bercakap-cakap dengan teman sebaya dan mulai aktif
memulai percakapan. Fase sebelumnya sampai tahap
perkembangan dua
kata anak lebih banyak
bergaul dengan orang tuanya. Sedangkan pada tahap ini pergaulan anak makin
luas yang berarti menambah pengetahuan dan menambah
perbendaharaan kata. Mereka dapat bercakap-cakap dengan teman sebaya, teman yang lebih besar, orang
dewasa,
dapat menyimak radio dan televisi.
Menurut Marat (1983
dalam Hartati, 2011) ada beberapa
keterampilan mencolok yang dikuasai anak pada tahap ini:
- Pada akhir
periode ini secara garis besar anak telah menguasai bahasa
ibunya, artinya kaidah-kaidah tata bahasa yang utama dari
orang dewasa telah
dikuasai.
- Perbendaharaan
kata berkembang, beberapa pengertian abstrak seperti:
pengertian waktu, ruang, dan jumlah yang diinginkan mulai
muncul.
- Mereka mulai
dapat membedakan kata kerja (contoh: minum, makan, masak,
pergi, pulang, mandi)
dan kata-kata benda (buku, baju, gelas,
nasi, susu) dan sudah dapat mempergunakan kata depan,
(di, ke,
dari), kata ganti (aku, kamu) dan kata kerja bantu (tidak, bukan,
mau, sudah dsb).
- Fungsi bahasa
untuk berkomunikasi betul-betul mulai berfungsi; anak sudah
dapat mengadakan konversasi (percakapan) dengan cara yang
dapat
dimengerti oleh orang dewasa.
- Persepsi anak dan
pengalamannya tentang dunia luar mulai ingin dibaginya
dengan orang lain, dengan cara memberikan kritik,
bertanya, menyuruh, memberi
tahu, dan lain-lain.
- Tumbuhnya
kreativitas anak dalam pembentukan kata-kata baru. Gejala ini
merupakan cara anak untuk mempelajari perkataan baru
dengan cara bermain-main.
Hal ini terjadi karena memang daya fantasi anak pada tahap
ini sedang pesat berkembang.
Seperti telah
dijelaskan di atas bahasa anak-anak pada tahap ini dilukiskan sebagai
bahasa telegram, karena pengetahuan kata-kata tugas yang
masih terbatas, menyebabkan
ucapan anak-anak itu berbunyi seperti telegram yang ditulis oleh orang
dewasa (Tarigan, 1985 dalam Hartati, 2011). Anak membuat pola pesan dengan cara yang sependek
mungkin seperti halnya orang dewasa mengirim telegram.
Menurut Marat (1983,
dalam Hartati, 2011) yang dihilangkan
pada bahasa telegram biasanya sebagai berikut:
- Kata ganti orang (nya, mu, ku)
- Kata kerja bantu (dengan baik, dengan cepat, dll)
- Kata sambung (dan,
juga, serta, dll)
- Kata sandang (si,
sang)
- Kata Bantu (akan,
telah)
- Kata depan (ini,
itu dll)
- Imbuhan (awalan
dan akhiran)
Kata-kata di atas
disebut kata-kata fungsi (function words). Walaupun kata-kata fungsi tersebut dihilangkan biasanya tidak menghilangkan
makna.
Seperti yang sudah dijelaskan terdahulu, bahwa
keterampilan anak pada tahap ini bervariasi, ada kemungkinan sebagian dari mereka sudah
dapat menambahkan akhiran dan
kata-kata fungsi dalam ujaran mereka. Anak-anak dari kota besar memiliki
kecenderungan menggunakan akhiran in dalam
pengucapan kata kerja yang seharusnya berakhiran kan. Tampaknya mereka lebih mudah
menggunakan akhiran in daripada kan. Contoh, “bajunya harus diginiin” ,“tolong beliin
balon”, “siniin bonekanya”dsb (Hartati, 2011).
2.2 Tahap Perkembangan Lanjut Kemampuan
Berbahasa
2.2.1
Tahap Tata Bahasa Pra-Dewasa
Tahap perkembangan
bahasa anak ini biasanya dialami oleh anak yang sudah berumur antara 4-5 tahun. Pada tahap ini
anak-anak sudah mulai menerapkan
struktur tata bahasa dan kalimat-kalimat yang agak lebih rumit. Misal,
kalimat majemuk sederhana seperti di bawah ini:
-
Mau nonton sambil disuapin.
- Aku di sini, kakak di sana.
- Mama beli sayur sama kerupuk.
- Ani lihat kakek dan nenek di jalan.
- Ayo nyanyi dan nari!
- Kakak, lagi apa?
Dari contoh
kalimat-kalimat di atas, tampak anak sudah “terampil” bercakap-cakap. Kemampuan menghasilkan kalimat-kalimatnya sudah beragam, ada kalimat
pernyataan/kalimat berita, kalimat perintah dan kalimat tanya.
Kemunculan kalimat-kalimat rumit di atas
menandakan adanya peningkatan kemampuan berbahasa anak. Menurut Tarigan (1985 dalam Hartati, 2011), walaupun
anak-anak sudah dianggap mampu menyusun kalimat kompleks, tetapi mereka masih membuat
kesalahan-kesalahan. Kesalahan tersebut dalam hal menyusun kalimat, memilih kata dan imbuhan yang tepat.
Untuk
memperbaikinya mereka harus banyak berlatih
bercakap-cakap dengan orang tua atau guru sebagai modelnya.
Pada tahap ini anak
sudah tidak mengalami kesulitan dalam mengucapkan bunyi-bunyi. Walaupun mungkin Anda masih menemukan
sebagian kecil anak yang
tidak dapat mengucapkan bunyi-bunyi tertentu
seperti /r/. Sekali lagi orang tua dan
guru
sangatlah berperan untuk membantu anak memperkaya kosa
kata. Menurut Clark (1977
dalam Hartati, 2011) pada tahap ini anak
masih mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikirannya ke dalam kata-kata yang bermakna. Hal ini
karena anak memiliki ketebatasan-keterbatasan
seperti: pengusaan struktur tata bahasa, kosa kata dan
imbuhan. Pada tahap ini anak-anak sulit mengucapkan
kata-kata yang tidak muncul dari hati nuraninya, tetapi pada dasarnya anak-anak senang
mempelajari sesuatu. Lambat laun mereka dapat mempelajari bahwa jika bersalah mereka harus minta maaf
dan
mengucapkan terima kasih bila ditolong atau diberi
sesuatu. Sebenarnya anak itu tidak mau mempergunakan
kata-kata yang menurutnya tidak bermakna (Clark, 1997
dalam Hartati, 2011). Jadi
jika kata-kata seperti maaf, terima kasih, nada bicara
tertentu, dan lain-lain yang tidak difahami tidak ada artinya bagi mereka atau tidak penting
bagi anak-anak, maka sulitlah
bagi mereka untuk mengucapkannya. Di sinilah pentingnya peranan dan
kesabaran orang tua, guru, atau pengasuh anak untuk
membimbing dan memberi contoh penggunaan kata-kata yang fungsional , kontekstual dan menyenangkan bagi
anak.
Untuk memperkaya kebahasaan anak orang tua atau guru
dapat mulai dengan mendongeng,
bernyanyi,
atau bermain bersama anak di samping sesering mungkin
mengajaknya bercakap-cakap.
2.3 Tahap Kompetensi Penuh
Sekitar usia 5-7
tahun, anak-anak mulai memasuki tahap yang disebut sebagai
kompetensi penuh. Sejak usia 5 tahun pada umumnya
anak-anak yang perkembangannya
normal telah menguasai elemen-elemen sintaksis bahasa ibunya dan
telah memiliki kompetensi (pemahaman dan produktivitas
bahasa) secara memadai. Walau
demikian, perbendaharaan katanya masih terbatas tetapi terus
berkembang/bertambah dengan kecepatan yang mengagumkan.
Berikutnya anak
memasuki usia sekolah dasar. Selama periode ini, anak-anak
dihadapkan pada tugas utama mempelajari bahasa tulis. Hal
ini dimungkinkan setelah anak-anak
menguasai bahasa lisan. Perkembangan bahasa anak pada periode usia
sekolah dasar ini meningkat dari bahasa lisan ke bahasa
tulis. Kemampuan mereka menggunakan
bahasa berkembang dengan adanya pemerolehan bahasa tulis atau
written language acquisition. Bahasa yang diperoleh dalam hal ini adalah bahasa yang
ditulis oleh penutur bahasa tersebut, dalam hal ini guru
atau penulis. Jadi anak mulai mengenal media lain pemerolehan bahasa yaitu tulisan, selain pemerolehan
bahasa lisan pada masa awal
kehidupannya.
Menurut Tarigan
(1988 dalam Hartati, 2011) salah satu perluasan bahasa sebagai alat komunikasi
yang harus mendapat perhatian khusus di sekolah dasar
adalah pengembangan baca tulis.
Perkembangan baca tulis anak akan menunjang serta memperluas
pengungkapan maksud-maksud pribadi Si Anak, misal melalui
penulisan catatan harian, menulis
surat, jadwal harian dsb. Dengan demikian perkembangan baca tulis di sekolah
dasar memberikan cara-cara yang mantap menggunakan bahasa
dalam komunikasi dengan
orang lain dan juga dengan dirinya sendiri.
Pada masa
perkembangan selanjutnya, yakni pada usia remaja, terjadi
perkembangan bahasa yang penting. Periode ini menurut
Gielson (1985 dalam Hartati, 2011) merupkan umur yang sensitif untuk belajar bahasa. Remaja
menggunakan gaya bahasa yang khas dalam berbahasa, sebagai bagian dari terbentuknya
identitas diri. Akhirnya
pada usia dewasa terjadi
perbedaan-perbedaan yang sangat besar antara individu yang satu dan
yang lain dalam hal perkembangan bahasanya. Hal ini
bergantung pada tingkat pendidikan,
peranan dalam masyarakat dan jenis pekerjaan.
KESIMPULAN
Ketika seorang anak mempelajari
sebuah bahasa, mereka mempelajari kosakata dan juga struktur
gramatika—aturan-aturan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik—dari
bahasa tersebut. Tidak ada yang mengajarkan mereka aturan-aturan tersebut;
anak-anak menyerap semuanya dari lingkungan mereka.
Sebelum seorang anak memproduksi
‘kata-kata’, mereka memproduksi suara-suara/bunyi, beberapa bunyi tersebut akan
bertahan jika mereka muncul dalam awal-awal pemerolehan bahasa mereka, beberapa
lainnya akan menghilang dan harus dipelajari lagi di tahap selanjutnya. Tahap
inilah yang biasa disebut tahap pra-wicara (pre-speech).
Seorang anak tidak akan mempelajari
bahasa dengan sekaligus. Gramatika bahasa diperoleh dalam beberapa tahap. Dalam
tahap awal, anak akan menggunakan ungkapan-satu-kata (tahap holofrastik).
Setelah beberapa bulan, tahap dua kata muncul, dimana seorang anak mampu
menggunakan dua kata untuk mengungkapkan pikirannya. Dua kata ini bukanlah
gabungan dua kata yang acak akan tetapi kata-kata tersebut memiliki pola
tertentu dan mengungkapkan hubungan gramatika dan semantik. Setelah itu, masih
dalam usia dini, kalimat yang lebih panjang pun muncul (tahap telegrafik) yang
terdiri dari kosakata-kosakata utama namun masih kurang sesuai dengan kaidah
morfemis yang dipelajari di tahap selanjutnya. Pemerolehan bahasa pada
anak-anak bervariasi dan mencerminkan penggunaan bahasa di lingkungan tempat
anak tersebut tinggal.
Referensi
Akmajian, A., Demers, R. A., &
Harnist, R. M. (1986). Linguistics: An
Introduction to Language and Communication, Second Edition. London: The MIT
Press Cambridge
Dardjowodjojo, Soenjono. (2010). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Franklin, V., Rodman, R., Collins,
P., & Blair, D. D. (1990). An
Introduction to Language. Second Australian Edition. Australia: PEY Ltd.
Hartati, Tatat. (2011). Pemerolehan dan Perkembangan Bahasa Anak:
Modul Mata Kuliah Psikolingusitik. Bandung: UPI
Steinberg, D. D., Nagata, H., &
Aline, D. P. (2001). Psycholinguistics:
Language, Mind, and World, Second Edition. London: Pearson Education Ltd.
No comments:
Post a Comment