Monday, November 5, 2012

PEMEROLEHAN DAN PERKEMBANGAN BAHASA PADA ANAK


Feisal Aziez (Oktober 2012)
Psikolinguistik

PENDAHULUAN

An infant crying in the night:
An infant crying for the light:
And with no language but a cry.
(Alfred Lord Tennyson, ‘In memoriam H.H.S.’)
     Istilah infant berasal dari kata latin yang berarti tanpa bicara (without speech). Dapat dikatakan pula bahwa seorang bayi belum mampu mengucapkan kata-kata atau ungkapan yang berarti atau bermakna dan dipahami oleh orang lain.
     Seorang anak tidak akan terbangun di suatu pagi dengan kemampuan komunikasi yang penuh dan berterima secara sosial atau gramatika. Pengetahuan linguistik ini berkembang secara bertahap, dan dalam setiap tahapannya, kemampuan mereka semakin mendekati kemampuan berbahasa orang dewasa. Observasi yang dilakukan terhadap anak-anak dalam komunitas bahasa yang berbeda di seluruh dunia menunjukkan bahwa tahap-tahap ini serupa, dan ada kemungkinan bersifat menyeluruh (­universal). Beberapa tahapan hanya berlangsung dalam jangka waktu yang pendek; beberapa yang lain membutuhkan waktu yang lebih lama.
      Setiap aspek dari suatu bahasa merupakan suatu hal yang sangat kompleks; walaupun begitu, anak-anak—sebelum usia lima tahun—sudah mampu mempelajari system gramatika suatu bahasa. Sebelum mereka mampu menjumlahkan 2 + 2, anak sudah mampu menggabungkan kalimat, membuat pertanyaan, menggunakan kata ganti, kalimat negatif, dan menggunakan aturan sintaksis, fonologi, morfologi, dan semantik dari bahasa pertama mereka. Hal ini sering membuat iri orang dewasa yang mempelajari bahasa kedua atau ketiga mereka karena begitu cepatnya seorang anak mampu belajar bahasa pertamanya.
      Makalah ini akan membahas perkembangan pemerolehan bahasa pada anak-anak; tahapan-tahapan dan proses pemerolehan bahasa mereka dilihat dari berbagai aspek. Luasnya area yang berkenaan dengan pemerolehan bahasa anak, maka makalah ini merupakan sebuah ringkasan saja dari berbagai sumber mengenai perkembangan pemerolehan bahasa pada anak.


PEMBAHASAN

2.1 Tahap Perkembangan Awal Kemampuan Berbahasa (Pre-Speech Stages)
2.1.1 Tahap Vokalisasi ke Mengoceh (Babbling)

      Perkembangan bahasa sebelum bayi dapat berbicara secara aktif disebut perkembangan pra-wicara (pre-speech development) biasanya ditandai oleh vokalisasi awal pada bayi. Vokalisasi awal ini ditunjukkan bayi dengan menangis (crying), mendekut (cooing), mendeguk (gurgling), menjerit, dan tertawa. Bayi di seluruh dunia cenderung membuat suara-suara yang serupa pada tahap awal perkembangannya, bahkan pada bayi-bayi yang terlahir tuli (Lenneberg, Rebelsky, & Nichols, 1965 dalam Steinberg, Nagata, & Aline, 2001). Ketika bayi memasuki usia sekitar 6 bulan kemampuan-kemampuan ini akan mulai menghilang. Kemudian, pada usia sekitar 7 bulan anak pada umumnya akan mulai mengoceh, memproduksi suara-suara yang biasa digambarkan sebagai suku kata (syllable) yang diulang, contohnya, ba-ba-ba, ma-ma-ma, atau pa-pa-pa.
      Pada saat usia bayi memasuki usia sekitar 6-7 bulan, ocehan mereka mulai menunjukkan perbedaan antara satu komunitas bahasa dengan komunitas bahasa yang lain dengan menggunakan intonasi-intonasi pada yang digunakan dalam komunitas bahasa dimana mereka berada. Ocehan yang menggunakan pola intonasi bahasa pertama ini jelas merupakan hasil belajar anak dari apa yang mereka dengan dari lingkungan bahasa mereka. Inilah yang tidak bisa didapatkan oleh bayi-bayi yang terlahir tuli. Bayi-bayi tersebut mengalami tahapan vokalisasi awal, akan tetapi tidak berkembang ke tahap mengoceh.
2.1.2 Tahap Mengoceh ke Berbicara
      Dalam tahap akhir mengoceh anak-anak mulai mengucapkan kata-kata pertama mereka. Umumnya, hal ini terjadi pada usia sekitar satu tahun akan tetapi dapat terjadi sebelum atau setelah satu tahun. Ketika anak mulai untuk mengucapkan kata-kata awal mereka, terlihat bahwa hanya sebagian kecil saja bunyi yang mereka biasa ucapkan dalam tahap ocehan muncul dalam ujaran mereka. Suara-suara lainnya harus diperoleh kembali. Ada kecenderungan kemampuan membuat bunyi-bunyi yang mereka dapatkan dalam tahap mengoceh hilang dan harus dipelajari kembali. Sebagai contoh, suara seperti /k/, /g/, dan /x/ (seperti dalam Bach) yang biasanya muncul dalam tahap vokalisasi dan mengoceh cenderung akan muncul kembali setelah mereka menguasai suara seperti /p/, /t/, /m/, /a/, dan /o/ (Steinberg, Nagata, & Aline, 2001). Maka dari itu tampak ada ketidakberlanjutan antara mengoceh dan ujaran yang bermakna dimana suara-suara yang didapat dalam tahap mengoceh tidak selalu langsung disadari ketika mereka mulai mengucapkan ujaran yang bermakna.
      Alasan dibalik ketidak-berlanjutan ini menurut Jesperson (1993 dalam Steinberg, Nagata, & Aline, 2001) adalah karena vokalisasi yang disengaja (intentional) dan tidak-disengaja (non-intentional). Mengoceh merupakan vokalisasi non-intentional dalam artian ada bunyi-bunyi tertentu yang dihasilkan tanpa adanya kontrol kognitif pusat. Hal ini terjadi karena belum sempurnanya kontrol kognitif terhadap alat berbicaranya (sistem pernafasan, faring, lidah, rongga mulut). Ini juga terjadi pada anggota tubuh lain seperti tangan dan kaki mereka.
      Dalam tahap ujaran yang bermakna, bunyi tidak dapat diucapkan secara acak (random) akan tetapi harus sesuai dengan bunyi yang telah mereka dengar sebelumnya yang secara konvensional dihubungkan dengan objek-objek tertentu, kebutuhan, dan lain sebagainya. Untuk memenuhi syarat diatas, anak perlu menemukan bagaimana suara tertentu diproduksi oleh alat berbicara mereka. Walaupun tahap mengoceh dan berbicara berbeda dalam hal kesengajaan, bagaimanapun, tahap berbicara anak sedikit banyaknya tergantung pada tahap mengoceh. Dalam tahap mengoceh, anak dapat melatih alat bicaranya yang akan membantunya ketika kontrol kognitif diperlukan untuk menggerakkan alat bicaranya untuk memproduksi ujaran yang bermakna.

2.1.3 Urutan Pemerolehan Bunyi Konsonan dan Vokal (Vowels)
    Dalam fase ujaran yang bermakna, Jakobson (1968 dalam Steinberg, Nagata, & Aline, 2001) menyatakan teori bahwa bunyi konsonan diperoleh dengan urutan depan-ke-belakang (front-to-back), dimana ‘depan’ dan ‘belakang’ mengacu pada sumber artikulasi dimana bunyi tersebut dihasilkan. Sebagai contoh, bunyi /m/, /p/, /b/, /t/, dan /d/ cenderung muncul pada anak sebelum bunyi /k/, /g/, dan /x/. Sebaliknya, bunyi vokal (vowels) tampaknya diperoleh dengan urutan belakang-ke-depan (back-to-front), dengan contoh /a/ (ball) dan /o/ (low) muncul sebelum /i/ (meet) dan /^/ (mud). Walaupun begitu, ada lebih banyak variasi dalam urutan pemerolehan ini daripada yang diprediksi oleh teori. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian (Velten, 1943; Leopold, 1947; Braine, 1971; Ferguson & Garnica, 1975 dalam Steinberg, Nagata, & Aline, 2001). Penyebab adanya variasi ini berkenaan dengan adanya lingkungan yang berbeda dimana seorang anak mempelajari alat bicara mana yang tepat untuk mengeluarkan bunyi tertentu.

2.1.4 Penamaan (Naming), Holofrastik, Telegrafik, dan Morfemik
2.1.4.1 Penamaan (Naming): Tahap Satu Kata
      Kapankah anak mengucapkan kata pertamanya? Penelitian yang dilakukan berdasarkan pertanyaan ini biasanya tidak bersifat konklusif. Hal ini disebabkan karena luasnya perbedaan individu yang ada dan juga karena tidak adanya standardisasi bagaimana seorang anak dikatakan telah mengucapkan kata pertamanya.
Ketika seorang anak mengucapkan ‘mama’, ucapan itu mungkin berarti atau tidak berarti menggambarkan pengetahuan kosakatanya. Steinberg, Nagata, & Aline (2001) menyatakan bahwa seorang anak bisa dikatakan telah menguasai kata pertamanya ketika (1) mereka dapat mengucapkan bentuk ucapan yang telah diketahui secara luas dan (2) ucapan itu berhubungan dengan suatu objek atau kejadian di lingkungannya. Bentuk kata tersebut mungkin tidak sempurna, contohnya, ‘pah’ untuk ‘papah’, dan makna yang dia maksudkan mungkin tidak sesuai, misalnya, semua orang dia panggil ‘da’, akan tetapi selama anak mampu menggunakan bentuk ucapan tersebut dengan acuan tertentu, dia dianggap telah memperoleh sedikit pengetahuan kata (word knowledge).
      Kata pertama telah dilaporkan muncul dalam rentang usia antara 4 hingga 18 bulan, atau bahkan lebih tua dengan rata-rata muncul dalam usia 10 bulan. Perbedaan ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan fisik, seperti fungsi otot-otot sekitar mulut yang sangat berpengaruh untuk menghasulkan bunyi yang tepat. Selain itu, perkembangan otak juga sangat penting karena bahasa dihasilkan dari proses yang terjadi di daerah cerebral cortex (Bates, Thal & Janowsky, 1992 dalam Steinberg, Nagata, & Aline, 2001).

            2.1.4.2 Tahap Holofrastik (Tahap Satu Kata)
      Bagaimanapun, seorang anak tidak akan menggunakan satu kata untuk mengacu pada sebuah objek; mereka juga menggunakan kata tersebut untuk mengungkapkan pemikiran yang kompleks. Holofrastik berasal dari kata ‘holo’ yang berarti keseluruhan dan ‘phras’ yang berarti frase atau kalimat. Ucapan-ucapan satu kata pada periode ini disebut holofrastik karena anak-anak menyatakan makna keseluruhan frase atau kalimat dalam satu kata yang diucapkannya itu. Contohnya: kata “asi “ (maksudnya nasi) dapat berarti dia ingin makan nasi, dia sudah makan nasi, nasi ini tidak enak, atau apakah ibu mau makan nasi? dsb. Agar kita dapat memahami maksud yang sesungguhnya, kita harus mencermati keadaan anak dan lingkungan pada saat ucapan satu kata itu diucapkan. Orang dewasa harus faham bahwa pada tahap holofrastik ini, ingatan dan alat ucap anak belum cukup matang untuk mengucapkan satu kalimat yang terdiri dari dua kata atau lebih.
       Tahap holofrastik ini dialami oleh anak normal yang berusia sekitar 1-2 tahun. Waktu berakhirnya tahap ini tidak sama pada setiap anak. Ada anak yang lebih cepat mengakhirinya, tetapi ada pula yang sampai umur anak 3 tahun. Pada tahap ini gerakan fisik seperti menyentuh, menunjuk, mengangkat benda dikombinasikan dengan satu kata. Seperti halnya gerak isyarat, kata pertama yang dipergunakan bertujuan untuk memberi komentar terhadap objek atau kejadian di dalam lingkungannya. Satu kata itu dapat berupa, perintah, pemberitahuan, penolakan, pertanyaan, dan lain-lain. Di samping itu menurut Clark (1977 dalam Hartati, 2011) anak berumur 1 tahun menggunakan bahasa isyarat dengan lebih komunikatif. Fungsi gerak isyarat dan kata manfaatnya bagi anak itu sebanding. Dengan kata lain, kata dan gerak itu sama pentingnya bagi anak pada tahap holofrastik ini.

2.1.4.3 Tahap Telegraphic (Tahap Dua dan Tiga Kata)
      Seperti telah dijelaskan di atas, seorang anak sebelumnya telah mengetahui ungkapan-ungkapan yang terekam dalam otaknya. Jadi pemahaman tertanam lebih dahulu daripada produksi bahasa. Tahap telegrafik ini biasanya muncul mulai menjelang usia dua tahun. Anak-anak memasuki tahap ini dengan pertama sekali mengucapkan dua holofrase dalam rangkaian yang cepat (Tarigan, 1980 dalam Hartati, 2011). Misal: mama bobo, adik mimi, papa pigi (ayah pergi), baju kakak dsb. Ucapan-ucapan ini pun, mula-mula tidak jelas seperti ”di“ (maksudnya adik), kemudian anak berhenti sejenak, lalu melanjutkan “mimi” maksudnya minum. Maka berikutnya muncul kalimat, “adik mimi”.
      Perlu Anda ketahui bahwa keterampilan anak pada akhir tahap ini makin luar biasa. Komunikasi yang ingin ia sampaikan umumnya adalah bertanya dan meminta. Kata-kata yang digunakan untuk itu sama seperti perkembangan awal yaitu: sini, sana, lihat, itu, ini, lagi, mau dan minta.
      Selain keterampilan mengucapkan dua kata, ternyata pada periode ini si anak terampil melontarkan kombinasi antara informasi lama dan baru. Pada periode ini tampak sekali kreativitas anak. Keterampilan tersebut muncul pada anak dikarenakan makin bertambahnya pembendaharaan kata yang diperoleh dari lingkungannya dan juga karena perkembangan kognitif serta fungsi alat ucap pada anak.

2.1.4.4 Tahap Morfemik
      Tahap ini dimulai sekitar usia anak 2,6 tahun, tetapi ada juga sebagian anak yang memasuki tahap ini ketika memasuki usia 2 tahun, bahkan ada juga anak yang lambat yaitu ketika anak memasuki usia 3 tahun. Pada umumnya pada tahap ini, anak-anak telah mulai menggunakan elemen-elemen tata bahasa yang lebih rumit, seperti: pola kalimat sederhana, kata-kata tugas (di, ke, dari, ini, itu dsb.), penjamakan, pengimbuhan, terutama awalan dan akhiran yang mudah dan bentuknya sederhana (Hartati, 2011). Meskipun demikian, kalimat-kalimat yang dihasilkan anak masih seperti bentuk telegram atau dalam bahasa Inggrisnya “telegraphic utterances” (ucapan telegram) contoh: “ini adi nani, kan ?” (adi maksudnya adik), ”mama pigi ke pasar”, “nani mau mandi dulu”, dsb.
      Perkembangan anak pada tahap ini makin luar biasa. Marat (1983 dalam Hartati, 2011) menyebutkan perkembangan ini dengan kalimat lebih dari dua kata dan periode diferensiasi. Tahap ini pada umunya dialami oleh anak berusia sekitar 2 ½ tahun-5 tahun. Sebenarnya perkembangan bahasa anak pada tahap ini bervariasi. Hal ini bergantung pada perkembangan pada tahap sebelumnya yang dialami oleh si anak. Umumnya pada tahap ini anak sudah mulai dapat bercakap-cakap dengan teman sebaya dan mulai aktif memulai percakapan. Fase sebelumnya sampai tahap perkembangan dua kata anak lebih banyak bergaul dengan orang tuanya. Sedangkan pada tahap ini pergaulan anak makin luas yang berarti menambah pengetahuan dan menambah perbendaharaan kata. Mereka dapat bercakap-cakap dengan teman sebaya, teman yang lebih besar, orang dewasa, dapat menyimak radio dan televisi.
      Menurut Marat (1983 dalam Hartati, 2011) ada beberapa keterampilan mencolok yang dikuasai anak pada tahap ini:
- Pada akhir periode ini secara garis besar anak telah menguasai bahasa ibunya, artinya kaidah-kaidah tata bahasa yang utama dari orang dewasa telah dikuasai.
- Perbendaharaan kata berkembang, beberapa pengertian abstrak seperti: pengertian waktu, ruang, dan jumlah yang diinginkan mulai muncul.
- Mereka mulai dapat membedakan kata kerja (contoh: minum, makan, masak, pergi, pulang, mandi) dan kata-kata benda (buku, baju, gelas, nasi, susu) dan sudah dapat mempergunakan kata depan, (di, ke, dari), kata ganti (aku, kamu) dan kata kerja bantu (tidak, bukan, mau, sudah dsb).
- Fungsi bahasa untuk berkomunikasi betul-betul mulai berfungsi; anak sudah dapat mengadakan konversasi (percakapan) dengan cara yang dapat dimengerti oleh orang dewasa.
- Persepsi anak dan pengalamannya tentang dunia luar mulai ingin dibaginya dengan orang lain, dengan cara memberikan kritik, bertanya, menyuruh, memberi tahu, dan lain-lain.
- Tumbuhnya kreativitas anak dalam pembentukan kata-kata baru. Gejala ini merupakan cara anak untuk mempelajari perkataan baru dengan cara bermain-main. Hal ini terjadi karena memang daya fantasi anak pada tahap ini sedang pesat berkembang.
      Seperti telah dijelaskan di atas bahasa anak-anak pada tahap ini dilukiskan sebagai bahasa telegram, karena pengetahuan kata-kata tugas yang masih terbatas, menyebabkan ucapan anak-anak itu berbunyi seperti telegram yang ditulis oleh orang dewasa (Tarigan, 1985 dalam Hartati, 2011). Anak membuat pola pesan dengan cara yang sependek mungkin seperti halnya orang dewasa mengirim telegram. Menurut Marat (1983, dalam Hartati, 2011) yang dihilangkan pada bahasa telegram biasanya sebagai berikut:
- Kata ganti orang (nya, mu, ku)
- Kata kerja bantu (dengan baik, dengan cepat, dll)
- Kata sambung (dan, juga, serta, dll)
- Kata sandang (si, sang)
- Kata Bantu (akan, telah)
- Kata depan (ini, itu dll)
- Imbuhan (awalan dan akhiran)
      Kata-kata di atas disebut kata-kata fungsi (function words). Walaupun kata-kata fungsi tersebut dihilangkan biasanya tidak menghilangkan makna. Seperti yang sudah dijelaskan terdahulu, bahwa keterampilan anak pada tahap ini bervariasi, ada kemungkinan sebagian dari mereka sudah dapat menambahkan akhiran dan kata-kata fungsi dalam ujaran mereka. Anak-anak dari kota besar memiliki kecenderungan menggunakan akhiran in dalam pengucapan kata kerja yang seharusnya berakhiran kan. Tampaknya mereka lebih mudah menggunakan akhiran in daripada kan. Contoh, “bajunya harus diginiin” ,“tolong beliin balon”, “siniin bonekanya”dsb (Hartati, 2011).

 2.2 Tahap Perkembangan Lanjut Kemampuan Berbahasa
2.2.1 Tahap Tata Bahasa Pra-Dewasa
      Tahap perkembangan bahasa anak ini biasanya dialami oleh anak yang sudah berumur antara 4-5 tahun. Pada tahap ini anak-anak sudah mulai menerapkan struktur tata bahasa dan kalimat-kalimat yang agak lebih rumit. Misal, kalimat majemuk sederhana seperti di bawah ini:
- Mau nonton sambil disuapin.
- Aku di sini, kakak di sana.
- Mama beli sayur sama kerupuk.
- Ani lihat kakek dan nenek di jalan.
- Ayo nyanyi dan nari!
- Kakak, lagi apa?
      Dari contoh kalimat-kalimat di atas, tampak anak sudah “terampil” bercakap-cakap. Kemampuan menghasilkan kalimat-kalimatnya sudah beragam, ada kalimat pernyataan/kalimat berita, kalimat perintah dan kalimat tanya. Kemunculan kalimat-kalimat rumit di atas menandakan adanya peningkatan kemampuan berbahasa anak. Menurut Tarigan (1985 dalam Hartati, 2011), walaupun anak-anak sudah dianggap mampu menyusun kalimat kompleks, tetapi mereka masih membuat kesalahan-kesalahan. Kesalahan tersebut dalam hal menyusun kalimat, memilih kata dan imbuhan yang tepat. Untuk memperbaikinya mereka harus banyak berlatih bercakap-cakap dengan orang tua atau guru sebagai modelnya.
      Pada tahap ini anak sudah tidak mengalami kesulitan dalam mengucapkan bunyi-bunyi. Walaupun mungkin Anda masih menemukan sebagian kecil anak yang tidak dapat mengucapkan bunyi-bunyi tertentu seperti /r/. Sekali lagi orang tua dan guru sangatlah berperan untuk membantu anak memperkaya kosa kata. Menurut Clark (1977 dalam Hartati, 2011) pada tahap ini anak masih mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikirannya ke dalam kata-kata yang bermakna. Hal ini karena anak memiliki ketebatasan-keterbatasan seperti: pengusaan struktur tata bahasa, kosa kata dan imbuhan. Pada tahap ini anak-anak sulit mengucapkan kata-kata yang tidak muncul dari hati nuraninya, tetapi pada dasarnya anak-anak senang mempelajari sesuatu. Lambat laun mereka dapat mempelajari bahwa jika bersalah mereka harus minta maaf dan mengucapkan terima kasih bila ditolong atau diberi sesuatu. Sebenarnya anak itu tidak mau mempergunakan kata-kata yang menurutnya tidak bermakna (Clark, 1997 dalam Hartati, 2011). Jadi jika kata-kata seperti maaf, terima kasih, nada bicara tertentu, dan lain-lain yang tidak difahami tidak ada artinya bagi mereka atau tidak penting bagi anak-anak, maka sulitlah bagi mereka untuk mengucapkannya. Di sinilah pentingnya peranan dan kesabaran orang tua, guru, atau pengasuh anak untuk membimbing dan memberi contoh penggunaan kata-kata yang fungsional , kontekstual dan menyenangkan bagi anak. Untuk memperkaya kebahasaan anak orang tua atau guru dapat mulai dengan mendongeng, bernyanyi, atau bermain bersama anak di samping sesering mungkin mengajaknya bercakap-cakap.

2.3 Tahap Kompetensi Penuh
      Sekitar usia 5-7 tahun, anak-anak mulai memasuki tahap yang disebut sebagai kompetensi penuh. Sejak usia 5 tahun pada umumnya anak-anak yang perkembangannya normal telah menguasai elemen-elemen sintaksis bahasa ibunya dan telah memiliki kompetensi (pemahaman dan produktivitas bahasa) secara memadai. Walau demikian, perbendaharaan katanya masih terbatas tetapi terus berkembang/bertambah dengan kecepatan yang mengagumkan.
      Berikutnya anak memasuki usia sekolah dasar. Selama periode ini, anak-anak dihadapkan pada tugas utama mempelajari bahasa tulis. Hal ini dimungkinkan setelah anak-anak menguasai bahasa lisan. Perkembangan bahasa anak pada periode usia sekolah dasar ini meningkat dari bahasa lisan ke bahasa tulis. Kemampuan mereka menggunakan bahasa berkembang dengan adanya pemerolehan bahasa tulis atau written language acquisition. Bahasa yang diperoleh dalam hal ini adalah bahasa yang ditulis oleh penutur bahasa tersebut, dalam hal ini guru atau penulis. Jadi anak mulai mengenal media lain pemerolehan bahasa yaitu tulisan, selain pemerolehan bahasa lisan pada masa awal kehidupannya.
      Menurut Tarigan (1988 dalam Hartati, 2011) salah satu perluasan bahasa sebagai alat komunikasi yang harus mendapat perhatian khusus di sekolah dasar adalah pengembangan baca tulis. Perkembangan baca tulis anak akan menunjang serta memperluas pengungkapan maksud-maksud pribadi Si Anak, misal melalui penulisan catatan harian, menulis surat, jadwal harian dsb. Dengan demikian perkembangan baca tulis di sekolah dasar memberikan cara-cara yang mantap menggunakan bahasa dalam komunikasi dengan orang lain dan juga dengan dirinya sendiri.
      Pada masa perkembangan selanjutnya, yakni pada usia remaja, terjadi perkembangan bahasa yang penting. Periode ini menurut Gielson (1985 dalam Hartati, 2011) merupkan umur yang sensitif untuk belajar bahasa. Remaja menggunakan gaya bahasa yang khas dalam berbahasa, sebagai bagian dari terbentuknya identitas diri. Akhirnya pada usia dewasa terjadi perbedaan-perbedaan yang sangat besar antara individu yang satu dan yang lain dalam hal perkembangan bahasanya. Hal ini bergantung pada tingkat pendidikan, peranan dalam masyarakat dan jenis pekerjaan.

  
KESIMPULAN
     Ketika seorang anak mempelajari sebuah bahasa, mereka mempelajari kosakata dan juga struktur gramatika—aturan-aturan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik—dari bahasa tersebut. Tidak ada yang mengajarkan mereka aturan-aturan tersebut; anak-anak menyerap semuanya dari lingkungan mereka.
Sebelum seorang anak memproduksi ‘kata-kata’, mereka memproduksi suara-suara/bunyi, beberapa bunyi tersebut akan bertahan jika mereka muncul dalam awal-awal pemerolehan bahasa mereka, beberapa lainnya akan menghilang dan harus dipelajari lagi di tahap selanjutnya. Tahap inilah yang biasa disebut tahap pra-wicara (pre-speech).
     Seorang anak tidak akan mempelajari bahasa dengan sekaligus. Gramatika bahasa diperoleh dalam beberapa tahap. Dalam tahap awal, anak akan menggunakan ungkapan-satu-kata (tahap holofrastik). Setelah beberapa bulan, tahap dua kata muncul, dimana seorang anak mampu menggunakan dua kata untuk mengungkapkan pikirannya. Dua kata ini bukanlah gabungan dua kata yang acak akan tetapi kata-kata tersebut memiliki pola tertentu dan mengungkapkan hubungan gramatika dan semantik. Setelah itu, masih dalam usia dini, kalimat yang lebih panjang pun muncul (tahap telegrafik) yang terdiri dari kosakata-kosakata utama namun masih kurang sesuai dengan kaidah morfemis yang dipelajari di tahap selanjutnya. Pemerolehan bahasa pada anak-anak bervariasi dan mencerminkan penggunaan bahasa di lingkungan tempat anak tersebut tinggal.


Referensi
Akmajian, A., Demers, R. A., & Harnist, R. M. (1986). Linguistics: An Introduction to Language and Communication, Second Edition. London: The MIT Press Cambridge
Dardjowodjojo, Soenjono. (2010). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Franklin, V., Rodman, R., Collins, P., & Blair, D. D. (1990). An Introduction to Language. Second Australian Edition. Australia: PEY Ltd.
Hartati, Tatat. (2011). Pemerolehan dan Perkembangan Bahasa Anak: Modul Mata Kuliah Psikolingusitik. Bandung: UPI
Steinberg, D. D., Nagata, H., & Aline, D. P. (2001). Psycholinguistics: Language, Mind, and World, Second Edition. London: Pearson Education Ltd.

No comments:

Post a Comment